Pages

Bottom 2

Labels

Jumat, 18 November 2011

Muqaddimah

Assalamu 'Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji ke hadirat Allah swt. atas segala nikmat yang tiada hentinya dianugrahkan kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam atas junjungan alam Nabiyullah Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya dan seluruh pengikutnya yang setia di atas risalahnya.
Pembaca yang budiman, blog ini adalah media penulis untuk berbagi dengan saudara-saudara yang ingin mendapatkan informasi tentang ilmu-ilmu dasar. terlepas dari itu-tulisan-tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, karenanya kami memohon maaf.

Terima kasih..

Admin

M. Daud Rahman

ARAB PRA ISLAM

(Keadaan Geografis, Politik, Sosial dan Ekonomi)

A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang lahir dalam sejarah panjang umat manusia, rentetan peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya agama Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji, karena tidak ada satupun peristiwa di dunia ini yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain memiliki hubungan yang sangat erat dalam berbagai aspek, termasuk hubungan Islam pada nilai-nilai historisnya dengan keadaan masyarakat Arab pra-Islam baik ditinjau dari keadaan sosial, ekonomi maupun politik.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental. Aspek yang pertama merupakan organisasi masyarakat manusia kedalam kelompok-kelompok kecil dengan corak kekeluargaan dengan pola kehidupan beragam mulai dari berburu, bertani, beternak, tatanan hubungan antar masyarakat sampai pada mempertahankan eksistensi kelompok tersebut. Aspek yang kedua merupakan sebuah evolusi kecenderungan yang mengarah pada pembentukan kultur, agama dan wilayah kekuasaan dalam lingkup yang lebih besar, bagaimana klan, perkampungan, dan kelompok-kelompok kecil terintegrasi menjadi sebuah masyarakat tunggal.
Bangsa Arab sebagai bangsa yang pertama kali menerima agama Islam tak luput dari hal yang demikian. Hal itu memberikan gambaran bahwa kedatangan Islam berakibat pada pertemuan pada apa yang telah ada dengan apa yang dibawa oleh agama Islam. Oleh karena itu, masalah yang dimunculkan dalam makalah ini adalah bagaimana pola kehidupan Arab pra-Islam dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan hal-hal lain yang memiliki keterkaitan dengan bangsa Arab pra-Islam.
Membahas sejarah bangsa Arab pra-Islam tidaklah mudah, dikarenakan luasnya cakupan pembahasan, baik dalam cakupan waktu maupun wilayah dibalik memang karena kurangnya referensi yang detail membahas tentang permasalahan ini. Dan karenanya pada pembahasan ini hanya akan diberikan gambaran secara umum tentang bangsa Arab pra-Islam.

B. Kondisi Geografis Jazirah Arab

Bangsa Arab disebut juga Arabia oleh ahli sejarah Yunani dan Romawi, sedangkan ahli sejarah lain menyebutnya dengan Jazirah ‘Arab, yang berarti pulau Arab, ini adalah istilah majazi karena dia bukan pulau tetapi shibhu al-jazirah yang berarti “semenanjung” disebut demikian karena Arab dikelilingi laut pada tiga sisinya.
Jazirah Arab jika dilihat dari keadaan geografisnya berbentuk memanjang dan tidak parallelogram. Luas semenanjung ini sekitar seribu kilometer persegi. Ke sebelah utara Mesopotamia, Syiria dan Palestina, ke sebelah timur teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Hindia, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia.
Dalam perspektif lain kemudian jazirah Arab diklasifikasi ke dalam lima daerah besar, yakni Tihamah, Najd, Hijaz, Arud dan Irak, sedangkan Ibnu Haufal menambahkan dalam pembagiannya yakni Irak, Jazirah dan Syam :
a. Tihamah, yaitu daerah yang terbentang dari Yaman di selatan sampai Aqabah di utara. Tihamah berarti amat panas, disebut demikian karena daerah ini memang sangat panas dan tidak berangin.
b. Najd, yaitu daerah yang membentang di kawasan tengah jazirah Arab antara gurun Samawah di Utara dan Duhana di selatan dan Irak di sebelah Timur serta Hijaz di sebelah barat. Najd ini terbagi dua yaitu Najd bawah dan Najd Atas. Najd atas yakni daerah sekitar Irak sedang Najd bawah yakni daerah sekitar Hijaz dan Tihamah.
c. Hijaz, adalah daerah yang terletak di antara Najd dan Tihamah. Hijaz terdiri dari beberapa lembah yang menembus jajaran pegunungan yang membentang dari Yaman sampai Syam.
d. ‘Arud, yaitu kawasan yang meliputi Yamamah, Bahrain dan kawasan dibawahnya. Dikatakan Arud karena ia terbentang di antara Yaman, Najd dan Irak.
e. Yaman, yaitu daerah yang luas, berbatasan dengan Tihamah dan Arud.
Selain pengklasifikasian di atas, sebagian ahli membaginya ke dalam tiga daerah, yaitu :
a. Al-‘Arab al-Sakhriyah, disebut juga Arabia Petraea atau Arabia Petrix, daerah keras yang berbatu, terletak di sebelah utara Arab.
b. Al-‘Arab al-Sa’idah, disebut juga Arabia Felix, daerah yang beruntung yang dimaksud adalah Yaman dan derah-daerah hijau atau daerah subur.
c. Al-‘Arab al-Sahrawiyah, atau disebut juga Arabia Deserta, yakni daerah gurun. Bagian ini yang selanjutnya dibagi kedalam tiga bentuk gurun yakni al-Harrat atau al-Harar, al-Dahna atau sahra al-Janub, kemudian sahra al-Nufud.
Sedang Ahmad Amin membuat klasifikasi tersendiri terhadap Jazirah Arab, sebagai Berikut :
a. Al-Sahra Badiyat al-Samawat, yakni kawasan yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat. Di sini sangat sedikit lembah dan mata airnya. Daerah ini sangat sulit untuk dilalui dikarenakan sering ada kabut debu akibat tiupan angin.
b. Al-Sahra al-Janub, kawasan yang terbentang ke arah timur sampai teluk Persia. Kawasan ini disebut juga dengan al-Rub al-Khali (daerah sepi). Daerah ini hampir seluruhnya berupa daratan keras, tandus dan pasir bergelombang, luasnya kurang lebih 150 mil persegi.
c. Al-Sahra al-Harrat, kawasan yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar, menyebar di seluruh kawasan ini sebanyak 29 buah.
Kodisi di atas yang kemudian memberi pengaruh secara internal pada mental, karakter ataupun pola kehidupan penduduk jazirah Arab. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Sama sekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu. Tidak mengherankan jika watak para penghuni jazirah ini keras dan kejam. Kondisi ini dipengaruhi oleh perjuangan mereka mempertahankan hidup dan mencari sumber-sumber kehidupan.
Secara garis besar kondisi iklim, jazirah Arab dibagi kedalam dua bagian. Yakni daerah dengan iklim yang baik dan teratur, meliputi daerah pesisir seperti Hijaz dan Arab bagian Selatan seperti Yaman serta Hirah dan Ghassan di jazirah Arab bagian Utara. Yang kedua yakni daerah yang memiliki iklim yang tidak teratur, dan mayoritas daerah jazirah Arab memiliki iklim yang tidak teratur.

C. Kehidupan Sosial dan Keagamaan Masyarakat Arab Pra-Islam

Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam awalnya hidup dengan sistem kabilah dan sangat menghargai nilai-nilai solidaritas kesukuan dan solidaritas kelompok yang disebut asabiyah , secara fundamental, masing-masing klan merupakan satu kesatuan yang mandiri. Ikatan ini diperkuat oleh nilai-nilai humanisme kesukuan (tribal humanism), bahwa makna kehidupan itu terwujud dalam keunggulan sifat manusia, yaitu semua kualitas bisa sejalan dengan cita-cita kemanusiaan atau keberanian bangsa Arab. Sifat keunggulan ini berada di tangan suku, bukan pada individu. Seandainya ada pada sosok individu, itu karena dia sebagai anggota suku. Yang menjadi tujuan adalah menjaga kehormatan suku. Kehidupan akan berarti jika kehidupan itu terhormat, dan apabila ada perbuatan yang bisa menyebabkan aib dan rasa malu maka harus dijauhi sejauh mungkin. Sikap ini seperti ini memiliki nilai positif dalam satu sisi, apabila sebuah suku mengantar setiap anggotanya pada nilai-nilai positif dan di sisi lain bernilai negatif jika pada posisi yang berlawanan.
Humanisme kesukuan seperti di atas terealisasi dalam bentuk perlidungan dan tanggungjawab, seperti jika seorang anggotanya teraniaya, maka klan atau suku menuntut balas atas penganiayaan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika ada individu dalam satu suku menganiaya maka itu menjadi tanggungjawab suku. Setiap anggota suku harus tunduk dan patuh kepada kebiasaan dan agama sukunya, meleburkan diri ke dalamnya. Penyair suku misalnya, berkewajiban menjadi juru bicara kelompoknya, sebab kepribadiannya tidak bisa terlepas dari kelompoknya.
Sebuah suku atau klan dipimpin oleh seorang saikh atau sayyid. Syaikh haruslah seorang yang terpandang, keluarga terhormat, memiliki karakter yang mulia, kaya, bijaksana dan berpengalaman. Akan tetapi walaupun demikian, seorang syaikh tidak berhak memerintah atau menjatuhkan hukuman kepada anggotanya, tetapi hanya melalui musyawarah. sistem ini merefleksikan bentuk masyarakat demokratis yang sederhana yang tentu dapat mengantarkan pada penguatan nilai-nilai solidaritas karena keterlibatan semua pihak dan terhindar dari pertentangan di kalangan pengikutnya. Selain itu dengan adanya persyaratan kepemimpinan mengarahkan pada sebuah orientasi yang mapan. Melahirkan seorang pemimpin yang mampu mengawal para anggotanya menghadapi kerasnya perjuangan hidup.
Pada tahapan selajutnya, berevolusi pada penyatuan kabilah-kabilah dalam sebuah kelompok yang lebih besar dengan landasan kesamaan orientasi, bersatu dalam konfederasi kesukuan. Di Makkah misalnya, memiliki sebuah dewan klan yang diistilahkan dengan mala, yang bertugas untuk menangani otoritas moral dan tidak disertai dengan kebebasan bertindak. Ciri penting yang paling menonjol dari kofigurasi mereka adalah muruwah, yakni keberanian, kesabaran dalam menghadapi ketidak beruntungan, perlindungan terhadap orang yang lemah dan penentangan terhadap orang-orang yang kuat. Ini menjadi basis yang sangat kuat dalam membangkitkan perasaan harga diri dan martabat kehormatan masyarakat Arab dan mereka menjunjung tinggi sifat-sifat ini, sampai pada kemajuan peradaban yang membuatnya menjadi terkikis.
Pada sisi yang positif, aktivitas perdagangan yang bersifat imperatif, kontak dan identifikasi Arab secara luas melahirkan individu-individu yang bebas dari tradisi klan . pada sisi lain memungkinkan berkembangnya kesadaran diri, semangat kritis, atau mampu bersikap dengan tata nilai baru dan memungkinkan juga lahirnya kompetisi ekonomik, konflik sosial sampai pada kehancuran moral.
Aktivitas komersial melahirkan stratifikasi sosial berdasarkan kekayaan. Situasi individual dengan kesetiaan kelompok tak dapat dipadukan lagi. Nilai-nilai luhur yang bercorak kesukuan tergantikan oleh ambisi yang tamak dan arogan dan didominasi hedonisme, bangsa Arab seakan telah kehilangan identitas moral dan sosialnya. Setelah melalui proses perjuangan panjang menjadi berbalik arah. Kerusakan di bidang moral dan sosio-kultural dalam kehidupan masyarakat Arab terjadi secara serius. Penguburan bayi hidup-hidup, perbudakan, pemerkosaan, poliandri, perampokan, dan berbagai tindakan sewenang-wenang dan tidak adil menjadi ciri keseharian yang nampak dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Pada kultur keagamaan dan ideologi bangsa Arab juga bersifat heterogen secara khusus. Berproses terganti dengan bergantinya imperium-imperium di atasnya. Dalam perjalanan proses tersebut paling tidak ada dua kultur ideologi secara umum yang eksis dalam perputarannya, yakni monotheis dan politheis. Kedua kultur ini berjalan ada yang dalam bentuk terlembaga dan ada juga yang tidak.
Monotheisme dan politheisme sangat berbeda dalam memandang kehidupan dan manusia. Jikalau politheis memandang alam ini tercerai berai terdiri dari kekuatan yang tidak terkendali, sebaliknya monotheis memandang alam ini sebagai sebuah totalitas yang dicipta dan diatur oleh sebuah wujud tunggal yang merupakan sumber dari segala materi dan spirit. Politheis memandang manusia terbagi ke dalam kelompok klan dengan komunitas dan dewa masing-masing sedang monotheis menginginkan komunitas klan bersatu dalam keimanan untuk mencapai keselamatan dan sebagainya.
Konfrontasi pandangan ini terjadi hampir diseluruh jazirah Arab, di Arab selatan misalnya, politheis secara umum menjadi ideologi, kuil-kuil menjadi pusat kehidupan masyarakat, dan menjadi pusat administrasi para kepala tokoh agama mereka. Ideologi ini kemudian mengalami perbauran dengan ideologi monotheis yang dibawa oleh para pedagang ataupun berubah dibawah tekanan imperium. Entitas ideologi ini ada yang mengambil bentuk seperti Yahudi dan Nasrani dan ada juga yang belum belum mengambil bentuk yang diistilahkan dalam al-Quran sebagai hanif, yakni kelompok yang percaya pada ke-Esaan Tuhan tetapi belum memeluk keyakinan tertentu.
Hal serupa berlaku diseluruh jazirah Arab, kedua ideologi ini mengambil tempat dengan model masing-masing. Di Arab tengah, masyarakat yang dikenal dengan Arab Badui melakukan penyembahan pada nenek moyang mereka, mempercayai adanya dewa-dewa yang berupa pohon besar ataupun batu yang menempati tempat-tempat keramat yang harus dijaga kesuciannya. Di Hijaz juga demikian sampai di Arab Utara.
D. Kondisi Politik dan Ekonomi
Sebelum datangnya Islam bangsa Arab telah menjalani sebuah proses perjalanan sejarah yang panjang. Di Arab selatan misalnya, otoritas raja pertama kali berdiri sekitar 1300 SM. yang dikenal dengan daulah al-Mu’ayyaniyah sampai pada tahun 630 SM. kemudian ada juga daulah Sabaiyah yang melangsungkan kekuasaannya sekitar tahun 800 SM. sampai 115 SM. daulah ini yang disebutkan dalam bible bahwa ia memiliki seorang ratu yang memiliki hubungan dengan raja Sulaiman. Sekitar tahun 750 SM. salah seorang rajanya membangun bendungan Ma’rib yang sangat terkenal dan menjadi pusat pengairan pertanian pada kerajaan ini dalam waktu yang cukup lama. Daulah ini kemudian digantikan oleh daulah Himyariyah dari kabilah Himyar. Daulah Himyar ini berlangsung dalam dua periode yang pertama dengan ibu kota Raidan berlangsung dari tahun 115 SM.-300 M. periode ini merupakan awal kejatuhan dan kemunduran Saba’. Kemudian pada awal abad ke empat daulah Himyar periode kedua mencoba bangkit kembali dan berlangsung hingga tahun 525 M. pada periode ini terjadi goncangan akibat peperangan antar keluarga kabilah Himyar yang berakibat pada masuknya Romawi ke Aden sekitar tahun 340 M.
Di wilayah utara Arab, ada daulah al-Anbati yang berdiri sekitar abad keenam sebelum masehi. Daerah kekuasaanya sekitar Syam hingga bagian utara Syiria. Daulah ini diperintah oleh seorang raja yang mengklaim menerima otoritas ketuhanan dan memiliki beberapa administrasi yang memusat, tetapi benar-benar tergantung pada dukungan koalisi klan dan kepala suku. Pada tahun 85 SM. sebuah kerajaan baru yang beribukota di Petra menguasai sebagian besar Yordania dan Syiria. Kerajaan ini menjalin hubungan perdagangan dengan Yaman, Mesir, Damaskus dan kota-kota pesisir Palestina. Kerajaan ini berakhir pada tahun 106 M. ketika ia dihancurkan oleh pasukan Romawi. Kedua kerajaan ini telah menjalin hubungan cukup lama sekitar tahun 65 SM. dan menjadi buruk pada awal abad pertama hingga ditaklukkan. Kerajaan selanjutnya yang muncul setelah kejatuhan Petra ialah Palmyra, memperluas daerah kekuasaannya hingga ke seluruh wilayah padang pasir dan sejumlah perbatasan sekitar. Mengembangkan jaringan perdagangan, mengembangkan sejumlah kuil dan yang paling menandai kehebatan masyarakat Palmyra adalah menguatnya pengaruh hellenistik.
Pada pertengahan abad keenam seluruh kerajaan pinggiran mengalami disintegrasi. Jazirah Arab didominasi oleh dua kerajaan besar yaitu Byzantium (Romawi) di barat dan Sasaniyah (Persia) di timur. Byzantium berpusat di Konstantinopel dengan agama negaranya adalah Nasrani sedangkan Sasaniyah menjadikan Isfahan, Iran sebagai pusat kekuasaan dengan Zoroaster sebagai agama Negara. Kedua negara ini berupaya menegakkan dominasi terhadap kerajaan-kerajaan pinggiran demi melindungi perdagangan dan pengelolaan wilayah oasis.
Setelah Petra dan Palmyra hancur, Romawi berusaha mempertahankan propinsi-propinsi dengan merekrut serikat bangsa Arab sebagai pengawal mereka dalam menghadapi kekuatan Arab lainnya dan Sasania. Begitupun sebaliknya, Sasania menguatkan dominasinya dengan mengayomi sebuah negara kacil yakni kerajaan Lakhm yang diperintah oleh keluarga Lakhm yang berpusat di Hirah, sebuah kota di bagian hilir sungai Eufrat.
Pergelutan kekuasaan politik terus berlanjut, Byzantium dan Sasaniyah terus terlibat dalam konflik baik konflik langsung ataupun konflik pengaruh. Pasukan Abyssinia yang berada dibawa pengaruh Byzantium didorong untuk menguasai daerah-daerah di jazirah Arab. Mereka juga menyerang Arab tengah pada tahun 535 M. dan menerobos ke Hijaz pada tahun 570 M. termasuk menyerang Makkah walaupun gagal, demi mengamankan jalur perdagangan Yaman-Syiria. Di sisi lain ia kemudian terusir dari Yaman oleh kerajaan Sasania pada tahun 572 M. pada periode ini, perekonomian masyarakat Arab Selatan merosot dan kesatuan politik nyaris musnah, sementara Hijaz memulai fase kebangkitan perekonomiannya.
Di tengah pergolakan politik tersebut, Makkah tetap teguh dalam sistem politik non-blok, menentang perpecahan politik dan sosial, dan tetap memberikan perhatian utama dalam urusan sosial dan ekonomi. Makkah yang menjadi pusat penyimpanan berhala dan dewa-dewa kesukuan dan menjadi tujuan ziarah tahunan, yang juga disepakati sebagai bulan gencatan senjata memberikan keuntungan ekonomi bagi Makkah dengan memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk melakukan transaksi perdagangan bahkan sampai mendirikan lokasi khusus untuk proses transaksi perdagangan seperti rempah-rempah.
Setelah keruntuhan Petra dan Palmyra, Makkah secara tidak sengaja menjadi pewaris kemakmuran. Orang-orang Makkah menjalankan sistem politik integratif, membuat kesepakatan perjanjian keamanan perdagangan dengan daerah-daerah sekitarnya. Mereka mendatangkan rempah-rempah, sutera dan obat-obatan pakaian dan budak dari Afrika atau dari wilayah timur jauh untuk dibawa ke Syiria dan kemudian mereka kembali dengan uang, senjata, biji-bijian serta minuman anggur. Tapi perlu diperhatikan bahwa proses perdagangan yang dilakukan oleh Makkah bukan berarti terjadi hanya setelah keruntuhan dua daerah yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi perdagangan telah menjadi unsur terpenting dalam perekonomian Arab pra-Islam.
Pada mulanya Makkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di sekitar pusat kegiatan keagamaan yang selanjutnya kemudian meningkat menjadi pusat perdagangan bertaraf internasional. hal tersebut sangat memungkinkan karena posisi Makkah yang sangat strategis. Makkah berada pada jalaur perdagangan dari Yaman dengan Syiria juga dari Abysina ke Irak.
Burhanuddin Dallu menyebutkan faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra-Islam sebagai berikut :
1. Kemajuan produksi lokal berupa barang pecah belah dan kemajuan aspek pertanian.
2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia, dan Ethopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniyah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 525 M. dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 575 M.
7. Dibangunnya pasar lokal dan pasar musiman di Hijaz, seperti ‘Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, Pasar Bani Qaniqua, Dumat al-Jandal, Yamamah, dan pasar Wahat.
8. Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan Laut Merah.
9. Terisolasinya pedagangan orang Eithopia di laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.
Faktor-faktor yang disebutkan di atas didominasi oleh faktor eksternal, keberhasilan perdagangan bangsa Arab seakan-akan adalah peristiwa yang terjadi secara kebetulan atau hanya sekedar faktor keberuntungan dengan tidak mengabaikan faktor internal walaupun kecil. Padahal tidak bisa disanggah, bahwa beberapa faktor yang di sebut di atas tak memiliki makna tanpa adanya aktor-aktor intelektual sebagai bagian dari faktor internal yang mampu membaca dan memanfaatkan peluang-peluang tersebut.
Pencapaian kesuksesan perdagangan khususnya di Makkah tidak terlepas dari peran Hasyim, kakek nabi Muhammad sebagai aktor intelektual yang mampu membaca peluang-peluang tersebut, memiliki kemampuan diplomatis yang mengantarkanya pada kerjasama pada penjaminan keamanan dari imperium besar ketika melakukan perdagangan.

E. Penutup

Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yang dituangkan ke dalam beberapa point berikut :
1. Masyarakat Arab pra-Islam hidup dalam kondisi wilayah yang dominan tandus, gersang dan beriklim panas.
2. Masyarakat Arab pra-Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial, kepedulian terhadap keluarga ataupun suku. Dalam hal ini dikenal dengan istilah, asabiyah, tribal humanism, ataupun muruwah. Walaupun akhirnya terkikis oleh kemajuan peradaban.
3. Kondisi geografis jazirah Arab memberikan pengaruh besar pada pola mental dan kehidupan orang Arab.
4. Sistem perekonomian bangsa Arab adalah perdagangan, kemudian pertanian, peternakan ataupun juga berburu. Dan yang mendominasi adalah perdagangan, hal tersebut dikarenakan dua faktor yakni internal: kemampuan mereka melihat peluang bisnis, dan kemampuan diplomatis, serta adanya anggapan perdagangan adalah profesi bergengsi. Faktor eksternal : Letak geografis yang strategis, merosotnya perekonomian dua imperium besar karena pergolakan politik.
5. Sistem politik yang berlaku ada dua yakni sistem monarki dan konfederasi. Sistem monarki adalah kekuasaan politik warisan. Sebuah kekuasaan diwariskan dari seorang ayah kepada anak dan seterusnya, yang memiliki kekuasaan mutlak. Sedangkan komfederasi adalah sebuah kekuasaan politik yang terbentuk dari beberapa kelompok kabilah yang bersatu dalam majlis yang pemimpinnya dipilih secara demokrasi berdasarkan syarat tertentu, namun demikian tidak memiliki kekuasaan penuh.
6. Bangsa Arab pra-Islam terintegrasi ke dalam beberapa bentuk ideologi, baik berbentuk maupun tidak. Yaitu monotheis seperti Nasrani dan Yahudi juga politheis. Ideologi ini ada yang lahir karena proses interaksi sosial dan ada juga yang lahir dari sebuah represif imperium.
Keadaan-keadaan inilah yang menyambut datangnya Islam. Konflik sosial, politik dan keagamaan serta konflik ekonomi terjadi di tengah-tengah kelahiran nabi Muhammad saw. sebagai seorang Rasul menunggu untuk diselesaikan.









DAFTAR REFERENSI

Lapidus, Ira M.. Sejarah Sosial Umat Islam, alih bahasa Gufron A. Mas’adi. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Salim, Abdul Azis. Tarikh al-Daulah al-‘Arabiyah. Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah, 1986
Lewis, Bernard. The Arabs in History. New York: Harper & Row Publisher, 1967
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah Nahdah al-Misriyah, 1975
Watt, W. Montgomery. Muhammad, Prophet and Statesmen . London: Oxford University Perss, 1961.
Nicholson, R.A. A Literary History of the Arab. Cambridge: Cambridge University Press,1907.
Dallu, Burhan al-Din. Jazirat al-‘Arab Qabla al-Islam . Beirut: tp, 1989.

Rabu, 16 November 2011

Dasar-dasar Ilmu, Knowledge, Science and Pseudoscience


A. Pendahuluan
            “Segala sesuatu tergantung kepada bagaimana kita memberikan definisi padanya”. Ungkapan ini mungkin tepat dalam memberikan gambaran tentang berbagai teori-teori keilmuan dengan kompleksitasnya, karena unsur konstruk paling elementer dalam struktur teori adalah defenisi atau batasan atau penjelasan suatu konsep. Pendefinisian awal akan mengantarkan sebuah implikasi yang beragam pada tataran lanjutan.
Pada pembahasan ini, yang akan dikedepankan adalah pengertian ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dengan segala derivasinya menjadi objek kajian, sedangkan pengertian atau pemberian defenisi menjadi perantara terbentuknya sebuah konsep yang utuh tentang objek. Dan dalam hal ini telah banyak ahli yang seakan-akan memiliki kebebasan untuk memberikan komentar pada konsep teori ilmu pengetahuan.
            Fungsi logis dari defenisi adalah memberikan batas arti atau makna simbolik dari suatu konsep, sehingga defenisi disamaartikan dengan batasan. Konsep manusia misalnya, perlu diberi batasan sehingga berbeda dengan konsep hewan atau batu. Pembuatan batasan tersebut pada dasarnya adalah memberikan penjelasan dengan menggunakan symbol lain yang lebih mudah dipahami.
            Membuat defenisi pada dasarnya adalah membuat batasan konsep tunggal. Ketika sejumlah konsep teori defenisi ditata relasinya atau ditata struktur paradigmanya, maka sejumlah konsep tersebut akan mengarah pada terciptanya sebuah pernyataan. Pernyataan tersebut dapat berwujud pendapat, hipotesis, asumsi atau bahkan sampai kepada struktur teori.
            Dalam penerapannya, defenisi akan sering berbenturan dengan sinonim, batasan atau penjelasan. Penjelasan yang dimaksud adalah memberikan keterangan agas suatu istilah menjadi jelas, sedangkan batasan adalah memberikan batas-batas arti istilah yang dijelaskan.
            Dari sisi kepentingan praktis untuk mengkonstruksikan sebuah teori tentang ilmu pengetahuan dalam pembahasa ini, paling tidak ada tiga bentuk defenisi yang akan diterapkan, yakni defenisi nominalis yang dibedakan menjadi dua, sinonim dan etimologi, kemudian defenisi realis serta defenisi praktis.
B. Knowledge, Science and Pseudoscience
            Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa objek pengkajian dalam bahasan ini adalah ilmu pengetahuan dengan segala derivasinya, dalam perspektif pendekatan defenisi. Derivasi yang dimaksud adalah objek lain yang timbul dari pembahasan permasalahan. Hal tersebut adalah Knowledge, Science dan Pseudoscince.
1. Knowledge
            Dalam tinjauan etimologi knowledge berasal dari bahasa Inggris yang berarti pengetahuan. Ini adalah pengembangan kata dari know yang berarti tahu yang kemudian dalam bahasa Indonesia mendapatkan imbuhan pe-dan -an menjadi pengetahuan.
            Kata tahu (know) pada tataran selanjutnya memiliki beberapa penurunan makna, yaitu:
a.       Bentuk pertama bermakna memiliki bentuk kemampuan khusus. Seperti ketika dikatakan “saya tahu main gitar”, kata tahu disini mengindikasikan kemampuan khusus memainkan gitar.
b.      Bentuk kedua bermakna mengenal tentang sesuatu atau seseorang. Seperti kata “ I know John”(saya tahu John) atau ” I Know the city” (saya tahu kota ini) kata tahu disini berorientasi pada makna kenal.
1.      Bentuk ketiga bermakna pengakuan terhadap sesuatu sebagai informasi. Seperti kata “if I know the way to Lugano” (jika saya tahu caranya ke Lugano).[i]
            Secara terminology, dalam Philosophy of Science A-Z dijelaskan bahwa defenisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (justified true belief). [ii] Hal ini sejalan dengan defenisi bahwa pengetahuan adalah suatu hal yang benar (the knowledge that something is true). [iii]
Di sisi lain, dikemukakan beberapa defenisi tentang pengetahuan yang diungkapkan oleh Amsal Bakhtiar :
a.       Menurut Sidi Gazalba bahwa pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu, yang itu adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.
b.      Loren Bagus menulis bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Disisi lain didefenisikan ke dalam dua bentuk yakni semua kehadiran internasional objek dalam subjek kemudian berarti putusan yang benar dan pasti.
c.       John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar berarti kontradiksi.[iv]
            Amsal Bakhtiar dalam hal ini tidak memberikan defenisi tersendiri atau mengambil kesimpulan dari tiga defenisi yang dia sebutkan, tapi hanya pada pengertian awal bahwa pengetahuan itu adalah hasil usaha manusia untuk tahu. Secara tidak langsung mengindikasikan kesepakatannya pada hal tersebut. Jika diperhatikan ketiga defenisi ini memiliki kesamaan, ketiganya mengarah pada hal tersebut yang disempurnakan oleh defenisi kedua dan ketiga dengan landasan kebenaran. Defenisi ini mensyaratkan dua hal yang bersifat internal dan eksternal. Syarat internal adalah adanya usaha sadar sedangkan eksternal adalah pengakuan kebenaran.
            John Hospers dan Knight, meyakini bahwa di dalam mengetahui memerlukan alat, yaitu pengalaman indera, nalar, wahyu, otoritas, intuisi dan keyakinan. Pendapat lain berkeyakinan bahwa pengetahuan didapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi. Pengamatan itu bermuara pada dua pengetahuan, rasional dan intuitif.[v] Syarat internal yang dikedepankan pada defenisi ini sebenarnya telah terinput pada defenisi sebelumnya tetapi pada bagian ini syarat internal usaha tersebut lebih mendetail yakni usaha pengamatan inderawi sampai pada keyakinan.
            Untuk mencapai sebuah pengertian utuh setelah pemberian defenisi tentang pengetahuan sebagai sebuah hasil usaha manusia untuk tahu dengan kesadaran, perlu diketengahkan analisa kondisi pengetahuan yang secara tidak langsung menjadi batasan antara pengetahuan dengan yang lain, yakni:
1.       Kondisi pertama dari pengetahuan adalah kebenaran (a truth condition). Maksudnya, jika saya tahu bahwa orang yag terpilih sebagai presiden itu memiliki modal sebanyak satu juta dollar kemudian orang terpilih sebagai presiden itu memang benar memiliki modal seperti. Tetapi jika kita tidak tahu bahwa orang itu memiliki modal kemudian mengaku mengetahui maka klaim pengetahuan kita tidak benar.
2.      Kondisi kedua pengetahuan adalah penerimaan (an acceptance condition). Penerimaan pada kondisi ini mengarah pada kepercayaan. Jika ada klaim mengetahui sesuatu, kemudian dia menerima atau percaya dengan hal tersebut.
3.      Kondisi ketiga pengetahuan adalah justifikasi (a justification condition). Penerimaan saja cukup untuk mengantar pada pengetahuan. Jika kita menerima dan mempercayai sesuatu tanpa ada bukti atau fakta pembenaran maka hal tersebut belum utuh.[vi]
Tiga kondisi di atas, kondisi kebenaran, penerimaan dan pembenaran menjadi syarat sesuatu bisa disebut pengetahuan atau wujud hasil dari usaha manusia untuk tahu. Ketiga kondisi ini harus terintegrasi.
Wujud pengetahuan pada tataran lanjutan kemudian oleh para ahli diklasifikasi ke dalam beberapa bentuk dengan kriteria masing-masing. Jan Hendrik Rapar misalnya yang membagi pengetahuan ke dalam tiga jenis, yaitu pengetahuan biasa (ordinary knowledge), pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), dan Pengetahuan filsafati (philosophical knowledge).[vii] Sedangkan Amsal Bakhtiar membaginya ke dalam empat jenis, yakni tiga pembagian di atas, pengetahuan biasa ( common sense/ good sense), pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat, kemudian pengetahuan agama.[viii]
2. Ilmu Pengetahuan (Science)
            Kata ilmu sebagai objek pada pembahasan ini jika ditinjau secara etimologi adalah serapan dari bahasa Arab : ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti atau memahami benar-benar.[ix] Ini adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris : Science. Kata science ini berasal dari bahasa Latin Scientia yang berarti pengetahuan. Kata scientia ini berasal dari kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Awalnya ilmu (sience) secara etimologis hanya berorientasi pada pengetahuan semata, kemudian berlanjut secara luas dengan menunjuk segenap pengetahuan sistematik, segenap pengetahuan yang teratur dalam bahasa Jerman wissenchaft,termasuk didalamnya pengetahuan alam (naturwissenchaften)  juga pengetahuan kemanusiaan (geisteswessenchaftenten), termasuk cakupannya adalah pengetahuan-pengetahuan tentang bahasa, sastra, estetika, sejarah, filsafat dan agama.[x]
            Sedangkan secara terminologi ilmu didefenisikan dengan bahasa dan istilah yang beragam. W. Atmojo mendefinisikan ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu. Sedangkan menurut Sumarna, ilmu dihasilkan dari pengetahuan ilmiah yang berangkat dari perpaduan proses berfikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris).[xi] Mulyadi Kartanegara mendefnisikan ilmu sebagai setiap pengetahuan yang terstruktur (any organized knowledge).[xii]
            Sheldon J. Lachman berpendapat bahwa ilmu menunjuk pertama-tama pada kumpulan-kumpulan yang disusun secara sistematis dari himpunan pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui teknik-teknik pengamatan yang objektif. Dengan demikian, isi ilmu adalah terdiri dari kupulan-kumpulan data yang teratur.[xiii] A.F Chalmers mendefinisikan ilmu secara singkat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh berupa fakta-fakta pengalaman. Hal senada diutarakan oleh J.J. Davies bahwa ilmu adalah suatu struktur yang dibangun di atas fakta-fakta.[xiv] Dan masih banyak lagi ahli-ahli yang mengutarakan pandangan-pandangan mereka tentang defenisi mereka tentang ilmu dengan ragam bahasa.
            Dari banyaknya ragam bentuk defenisi dari para ahli, pada dasarnya jika disimpulkan hanya mengarah pada sebuah orientasi yang sekurang-kurangnya menunjuk pada tiga hal, yakni aktivitas, metode dan pengetahuan.
1.      Aktivitas adalah ragam proses yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Paul K. Feyerabend bahwa ilmu itu adalah ketika manusia berhenti berspekulasi dan mulai meneliti atau bereksperimen.[xv] Penelitian atau eksperimen adalah salah satu aktivitas untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
2.      Metode adalah cara atau teknik tertentu yang terintegrasi dalam proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut. Setiap metode dijalankan sesuai dengan objek kajian masing yang kemudian dikenal dengan metode ilmiah.
3.      Pengetahuan adalah produk dari proses aktvitas ilmiah yang dibangun di atas metode-metode yang terstruktur sehingga menghasilkan pengetahuan yang tersistematis yang sesuai dengan syarat-syarat ilmiah.
3. Pseudoscience
            Dalam dunia realitas, kerap kali ditemukan istilah-istilah sinonim dari sebuah objek tertentu. Pada tataran tertentu istilah-istilah yang disinonimkan tersebut tepat adanya karena adanya kesesuaian dengan teori ilmiah. Namun di sisi lain ada juga istilah lain yang lahir dari spekulasi semata. Satu objek kadang mendapat defenisi yang beragam karena adanya keumuman makna atau memiliki kekhususan makna. Sains (science) misalnya yang berawal dari makna ilmu sampai pada pengkhususan hanya pada ilmu tertentu.
            Ilmu (science) sebagai sebuah istilah dari sebuah objek juga memiliki istilah lain yang kerapkali disamakan dan kadang juga dibedakan yakni dengan pengetahuan (knowledge) kadang juga disandingkan tanpa perbedaan dengan istilah ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge). Selain itu ilmu (science) kerapkali juga disandingkan dengan sebuah istilah yang memang agak berbeda, yaitu pseudoscience.
            Pseudoscience adalah sebuah istilah yang secara etimologi dari bahasa inggris yang terdiri dari dua kata yaitu pseudo yang berarti palsu, lancung atau gadungan seperti kata pseudo scholar yang berarti sarjana gadungan,[xvi] dan science yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika keduanya digabungkan maka maknanya akan menjadi kurang lebih “ilmu palsu” atau “ilmu gadungan”.
            Secara terminologi Karl Popper mendefinisikan pseudoscience sebagai istilah atas teori ilmiah yang bersifat palsu (falsifiable). Teori ini bukan berarti tidak benar, tapi teori ini membutuhkan pengujian melalui pengalaman. Jika dalam pengujian teori tersebut ternyata salah maka teori ini bersifat falsifiable dan menjadi bukti terbalik atas ketidakbenaran teori ilmiah tersebut. Menurut Karl Popper bahwa teori ilmiah  yang dikira benar tapi tidak membawa pada kondisi yang meyakinkan tidak bisa disebut ilmu secara mutlak tetapi ia istilahkan dengan pseudoscience.[xvii]  Jika melihat defenisi ini, boleh jadi yang dimaksud adalah teori yang berupa hipotesa.

C. Dasar-dasar Ilmu
            Ilmu sebagai objek kajian dari filsafat dalam kaitannya dengan filsafat ilmu memiliki dimensi-dimensi persoalan yang harus dijawab melalui pengkajian secara mendalam oleh filsafat ilmu, yaitu dimensi ontologism, epistemology, dan aksiologis.
1. Dimensi Ontologis
            Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1639 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.  Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1757) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[xviii] Istilah metafisika berasal dari nama buku karya Aristoteles Methapisics, yang membahas macam-macam problem alam secara umum, yang ia sendiri tidak menyebut istilah ini seperti demikian. Aristoteles menyebutnya sebagai palajaran tentang keberadaan sebagai keberadaan (the study of being qua being). Ini membahas tentang apa yang ada, bukan hanya  yang ada di alam ini atau ada di dunia empiris meskipun itu termasuk di dalamnya. Metafisika seringkali diartikan setelah nyata “after phisics”  tapi ini hanya pengertian lain dari sesuatu yang ada dibalik yang ada atau hakikat sesuatu yang ada.[xix] Metafisika dapat diartikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.[xx]  
            Secara etimologi kata ontologi berasal dari bahasa Yunani on / ontos sama dengan being yang berarti “yang berada” dan logos sama dengan logic yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Jadi, ontologi adalah teori tentang keberadaan sebagai keberadaan (the theory of being qua being). Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan frote philosophia dan ilmu mengenai esensi benda.[xxi] Dalam perspektif yang sama menempatkan ontologi sebagai teori tentang apa yang ada dan apa yang penting tentang metafisik, studi yang menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.[xxii]
            Dari defenisi di atas menempatkan hakikat dari realitas sebagai objek dari dimensi ontologis. Hakikat yang dimaksud memiliki bentuk yang beragam. Pada dimensi kuantitas ada hakikat monisme, dualism, pluralisme, nihilisme  ataupun agnostisisme. Sedangkan ditinjau dari segi kualitas melahirkan hakikat materialisme dan idealisme.   
2. Dimensi Epistemologis
Efistemologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi, epistemologi berarti teori atau pikiran tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Istilah lainnya adalah filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knowledge).[xxiii]
            Dalam dimensi epistemologi ada tiga persoalan pokok yang dijelaskan secara sistematis, seperti yang disebutkan oleh Harold Titus, yaitu :
a.       Apakah sumber pengetahuan itu ? dari mana datangnya pengetahuan dan bagaimana cara mengetahuinya ?
b.      Apakah sifat dasar pengetahuan ? apa ada dunia di luar pikiran kita dan kalau ada bisakah kita mengetahuinya ?
c.       Apakah pengetahuan itu benar ? dan bagaimana kita membedakan benar dan salah?[xxiv]
Jawaban dari perihal-perihal di atas yang terintegrasi menjadi sebuah kesatuan dalam dimensi epistemologis  dengan berbagai sub dimensi yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Jadi pada intinya epistemologi mencakup sumber, sarana, metode dan atau bentuk bentuk, yang antara satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan pengaruh. Sumber yang dipandang  misalnya, ada empirisme, rasionalisme, positivisme atapun intuitisme..
Pada sub dimensi lain epistemologi menuntut adanya sarana, apakah itu akal, pancaindra dan lain-lain. selain itu juga adanya metode pada tahapan lanjutan, apakah itu metode induktif, deduktif kontemplatif, positivism, ataupun dialektis. Dan pada tahapan akhir mengantarkan pada adanya syarat pembenaran ataupun sistem.  

3. Dimensi Aksiologis
            Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori  atau ilmu. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Aksiologi juga diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. [xxv]ini mengantarkan pada pemahaman bahwa nilai adalah permasalahan utama dalam dimensi aksiologi.
            Dalam filsafat, teori tentang nilai mengacu pada etika dan estetika. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
a.       Etika
Conny R. Semiawan menjelaskan tentang etika sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Etika terkadang disebut moral sebagai prinsip atau standar perilaku manusia. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan sebuah predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain.[xxvi] dalam proses pelaksanaannya akan berorientasi pada nilai yang objektif atau subjektif. Hasil akhir ini tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat.
b.      Estetika
Mengenai estetika, Semiawan juga menjelaskan sebagai sesuatu hal yang mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika mengkaji tentang hakikat hakikat indah dan buruk serta membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas dan juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode estetis dari suatu pengetahuan ilmiah.[xxvii]
D. Penutup
            Dari uraian pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yang dituangkan ke dalam beberapa point berikut :
1.      Pengetahuan (knowledge) adalah hasil usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan mensyaratkan paling tidak tiga kondisi agar dapat disebut sebagai pengetahuan, yaitu : kondisi benar sebagai lawan dari bohong dalam perspektif internal person. Kemudian kondisi penerimaan, serta kondisi justifikasi, pembenaran atau pengakuan secara eksternal.
2.      Ilmu (science) ialah pengetahuan yang disusun secara sistematis menurut metode-metode dan syarat-syarat tertentu, yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu pada bidang pengetahuan itu.

3.      Pseudoscience
Pseudoscience adalah teori tentang satu objek yang dianggap benar tapi masih membutuhkan pangujian karena adanya keidak yakinan dan dalam prose pengujian tersebut tidak membuktikan kebenarannya.
4.      Dasar-dasar Ilmu
            Dimensi-dimensi yang menjadi pembahasan ilmu, paling tidak ada tiga, yaitu ontologi, Epistemologi, dan aksiologi.
            Pertama, Ontologi membicarakan tentang apa yang ada dan apa yang penting tentang metafisik, studi yang menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental juba membicarakan tentang studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Kedua. Epistemologi membicarakan tentang sumber, sarana misalnya, ada empirisme, rasionalisme, positivisme atapun intuitisme. Persoalan selanjutnya adalah metode apakah itu metode induktif, deduktif kontemplatif, positivism, ataupun dialektis,.Pada sub dimensi lain epistemologi menuntut adanya sarana, apakah itu akal, pancaindra dan lain-lain. Dan pada tahapan akhir mengantarkan pada adanya syarat pembenaran ataupun sistem, yang antara satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan pengaruh. Ketiga, Aksiologi berbicara tentang nilai atau kegunaan dari sebuah ilmu.
  


DAFTAR REFERENSI

Bakhtiar, Amsal.  Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers, 2008.
Chalmers, A.F. What is this Thing Called Science ?. Indianapolis: Hacket Publishing Company, 1999.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris- Indonesia, an English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Gramedia, 2003.
Gie, The Liang.  Pengantar Filsafat . Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.
Ladyman, James. Ontological, Epistemological, and Methodological Positions, dalam Theo A.F. Kuipers (Ed.) General Philosophy of Science: Focal Issues. Amsterdam: Elsevier B.V., 2007.
Lehrer, Keith. Theory of Knowledge. United State of America: Westview Press, 1990.
Mumford, Stephen. Methaphisics, dalam Stathis Psillos and Martin Curd, The Routdledge Companion to Philosophy of Science. New York : Routledge, 2008.
Munawwir, Ahmad Warson.  Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Okasha,Samir. Philosophy of Science : a Very Short Introduction. New York: Oxford University Press, 2002.
Paul K. Feyerabend: Knowledge, Science and Relativism, dalam Philosophical Papers,Vol. 3, ed. John Preston. Cambridge : Cambridge University Press, 1999.
Psillos,Stathis. Philosophy of Science A-Z. Edinburgh: Edinburgh University Perss, 2007.
Susanto, A. Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu,. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.



[i] Keith Lehrer, Theory of Knowledge (United State of America: Westview Press, 1990), 3-4.
[ii] Stathis Psillos, Philosophy of Science A-Z (Edinburgh: Edinburgh University Perss, 2007), 130.
[iii] Keith, Theory, 3.
[iv] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), 85-86.
[v] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 137.
[vi] Keith, Theory,9-12.
[vii] A. Susanto, Filsafat, 137.
[viii] Amsal, Filsafat, 87-88
[ix] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989), 965.
[x] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), 126-127.
[xi] A. Susanto,filsafat, 76-77.
[xii] Amsal, Filsafat, 12.
[xiii] The Liang Gie, Pengantar Filsafat  (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 87.
[xiv] A.F. Chalmers, What is this Thing Called Science ? (Indianapolis: Hacket Publishing Company, 1999), 1.
[xv] Paul K. Feyerabend: Knowledge, Science and Relativism, dalam Philosophical Papers,Vol. 3, ed. John Preston (Cambridge : Cambridge University Press, 1999), 1.
[xvi] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris- Indonesia, an English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Gramedia, 2003), 454.
[xvii] Samir Okasha, Philosophy of Science:  a Very Short Introduction. (New York: Oxford University Press,2002), 13.
[xviii] Amsal, Filsafat, 134.
[xix] Stepen Mumford, Methaphisics, dalam Stathis Psillos and Martin Curd, The Routdledge Companion to Philosophy of Science (New York : Routledge, 2008), 27.
[xx] Tim Dosen, Filsafat, 31.
[xxi] A. Susanto, Filsafat..91.
[xxii] James Ladyman: Ontological, Epistemological, and Methodological Positions, dalam Theo A.F. Kuipers (Ed.) General Philosophy of Science: Focal Issues (Amsterdam: Elsevier B.V., 2007), 303.
[xxiii] A. Susanto, Filsafat..136.
[xxiv] Ibid, 103.
[xxv] Amsal, filsafat, 163.
[xxvi] A. Susanto, Filsafat, 118.
[xxvii] Ibid, 1