Pages

Bottom 2

Labels

Jumat, 18 November 2011

ARAB PRA ISLAM

(Keadaan Geografis, Politik, Sosial dan Ekonomi)

A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang lahir dalam sejarah panjang umat manusia, rentetan peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya agama Islam merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji, karena tidak ada satupun peristiwa di dunia ini yang terlepas dari konteks historis dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Artinya, antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain memiliki hubungan yang sangat erat dalam berbagai aspek, termasuk hubungan Islam pada nilai-nilai historisnya dengan keadaan masyarakat Arab pra-Islam baik ditinjau dari keadaan sosial, ekonomi maupun politik.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental. Aspek yang pertama merupakan organisasi masyarakat manusia kedalam kelompok-kelompok kecil dengan corak kekeluargaan dengan pola kehidupan beragam mulai dari berburu, bertani, beternak, tatanan hubungan antar masyarakat sampai pada mempertahankan eksistensi kelompok tersebut. Aspek yang kedua merupakan sebuah evolusi kecenderungan yang mengarah pada pembentukan kultur, agama dan wilayah kekuasaan dalam lingkup yang lebih besar, bagaimana klan, perkampungan, dan kelompok-kelompok kecil terintegrasi menjadi sebuah masyarakat tunggal.
Bangsa Arab sebagai bangsa yang pertama kali menerima agama Islam tak luput dari hal yang demikian. Hal itu memberikan gambaran bahwa kedatangan Islam berakibat pada pertemuan pada apa yang telah ada dengan apa yang dibawa oleh agama Islam. Oleh karena itu, masalah yang dimunculkan dalam makalah ini adalah bagaimana pola kehidupan Arab pra-Islam dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan hal-hal lain yang memiliki keterkaitan dengan bangsa Arab pra-Islam.
Membahas sejarah bangsa Arab pra-Islam tidaklah mudah, dikarenakan luasnya cakupan pembahasan, baik dalam cakupan waktu maupun wilayah dibalik memang karena kurangnya referensi yang detail membahas tentang permasalahan ini. Dan karenanya pada pembahasan ini hanya akan diberikan gambaran secara umum tentang bangsa Arab pra-Islam.

B. Kondisi Geografis Jazirah Arab

Bangsa Arab disebut juga Arabia oleh ahli sejarah Yunani dan Romawi, sedangkan ahli sejarah lain menyebutnya dengan Jazirah ‘Arab, yang berarti pulau Arab, ini adalah istilah majazi karena dia bukan pulau tetapi shibhu al-jazirah yang berarti “semenanjung” disebut demikian karena Arab dikelilingi laut pada tiga sisinya.
Jazirah Arab jika dilihat dari keadaan geografisnya berbentuk memanjang dan tidak parallelogram. Luas semenanjung ini sekitar seribu kilometer persegi. Ke sebelah utara Mesopotamia, Syiria dan Palestina, ke sebelah timur teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Hindia, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia.
Dalam perspektif lain kemudian jazirah Arab diklasifikasi ke dalam lima daerah besar, yakni Tihamah, Najd, Hijaz, Arud dan Irak, sedangkan Ibnu Haufal menambahkan dalam pembagiannya yakni Irak, Jazirah dan Syam :
a. Tihamah, yaitu daerah yang terbentang dari Yaman di selatan sampai Aqabah di utara. Tihamah berarti amat panas, disebut demikian karena daerah ini memang sangat panas dan tidak berangin.
b. Najd, yaitu daerah yang membentang di kawasan tengah jazirah Arab antara gurun Samawah di Utara dan Duhana di selatan dan Irak di sebelah Timur serta Hijaz di sebelah barat. Najd ini terbagi dua yaitu Najd bawah dan Najd Atas. Najd atas yakni daerah sekitar Irak sedang Najd bawah yakni daerah sekitar Hijaz dan Tihamah.
c. Hijaz, adalah daerah yang terletak di antara Najd dan Tihamah. Hijaz terdiri dari beberapa lembah yang menembus jajaran pegunungan yang membentang dari Yaman sampai Syam.
d. ‘Arud, yaitu kawasan yang meliputi Yamamah, Bahrain dan kawasan dibawahnya. Dikatakan Arud karena ia terbentang di antara Yaman, Najd dan Irak.
e. Yaman, yaitu daerah yang luas, berbatasan dengan Tihamah dan Arud.
Selain pengklasifikasian di atas, sebagian ahli membaginya ke dalam tiga daerah, yaitu :
a. Al-‘Arab al-Sakhriyah, disebut juga Arabia Petraea atau Arabia Petrix, daerah keras yang berbatu, terletak di sebelah utara Arab.
b. Al-‘Arab al-Sa’idah, disebut juga Arabia Felix, daerah yang beruntung yang dimaksud adalah Yaman dan derah-daerah hijau atau daerah subur.
c. Al-‘Arab al-Sahrawiyah, atau disebut juga Arabia Deserta, yakni daerah gurun. Bagian ini yang selanjutnya dibagi kedalam tiga bentuk gurun yakni al-Harrat atau al-Harar, al-Dahna atau sahra al-Janub, kemudian sahra al-Nufud.
Sedang Ahmad Amin membuat klasifikasi tersendiri terhadap Jazirah Arab, sebagai Berikut :
a. Al-Sahra Badiyat al-Samawat, yakni kawasan yang memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat. Di sini sangat sedikit lembah dan mata airnya. Daerah ini sangat sulit untuk dilalui dikarenakan sering ada kabut debu akibat tiupan angin.
b. Al-Sahra al-Janub, kawasan yang terbentang ke arah timur sampai teluk Persia. Kawasan ini disebut juga dengan al-Rub al-Khali (daerah sepi). Daerah ini hampir seluruhnya berupa daratan keras, tandus dan pasir bergelombang, luasnya kurang lebih 150 mil persegi.
c. Al-Sahra al-Harrat, kawasan yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar, menyebar di seluruh kawasan ini sebanyak 29 buah.
Kodisi di atas yang kemudian memberi pengaruh secara internal pada mental, karakter ataupun pola kehidupan penduduk jazirah Arab. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Sama sekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu. Tidak mengherankan jika watak para penghuni jazirah ini keras dan kejam. Kondisi ini dipengaruhi oleh perjuangan mereka mempertahankan hidup dan mencari sumber-sumber kehidupan.
Secara garis besar kondisi iklim, jazirah Arab dibagi kedalam dua bagian. Yakni daerah dengan iklim yang baik dan teratur, meliputi daerah pesisir seperti Hijaz dan Arab bagian Selatan seperti Yaman serta Hirah dan Ghassan di jazirah Arab bagian Utara. Yang kedua yakni daerah yang memiliki iklim yang tidak teratur, dan mayoritas daerah jazirah Arab memiliki iklim yang tidak teratur.

C. Kehidupan Sosial dan Keagamaan Masyarakat Arab Pra-Islam

Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam awalnya hidup dengan sistem kabilah dan sangat menghargai nilai-nilai solidaritas kesukuan dan solidaritas kelompok yang disebut asabiyah , secara fundamental, masing-masing klan merupakan satu kesatuan yang mandiri. Ikatan ini diperkuat oleh nilai-nilai humanisme kesukuan (tribal humanism), bahwa makna kehidupan itu terwujud dalam keunggulan sifat manusia, yaitu semua kualitas bisa sejalan dengan cita-cita kemanusiaan atau keberanian bangsa Arab. Sifat keunggulan ini berada di tangan suku, bukan pada individu. Seandainya ada pada sosok individu, itu karena dia sebagai anggota suku. Yang menjadi tujuan adalah menjaga kehormatan suku. Kehidupan akan berarti jika kehidupan itu terhormat, dan apabila ada perbuatan yang bisa menyebabkan aib dan rasa malu maka harus dijauhi sejauh mungkin. Sikap ini seperti ini memiliki nilai positif dalam satu sisi, apabila sebuah suku mengantar setiap anggotanya pada nilai-nilai positif dan di sisi lain bernilai negatif jika pada posisi yang berlawanan.
Humanisme kesukuan seperti di atas terealisasi dalam bentuk perlidungan dan tanggungjawab, seperti jika seorang anggotanya teraniaya, maka klan atau suku menuntut balas atas penganiayaan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika ada individu dalam satu suku menganiaya maka itu menjadi tanggungjawab suku. Setiap anggota suku harus tunduk dan patuh kepada kebiasaan dan agama sukunya, meleburkan diri ke dalamnya. Penyair suku misalnya, berkewajiban menjadi juru bicara kelompoknya, sebab kepribadiannya tidak bisa terlepas dari kelompoknya.
Sebuah suku atau klan dipimpin oleh seorang saikh atau sayyid. Syaikh haruslah seorang yang terpandang, keluarga terhormat, memiliki karakter yang mulia, kaya, bijaksana dan berpengalaman. Akan tetapi walaupun demikian, seorang syaikh tidak berhak memerintah atau menjatuhkan hukuman kepada anggotanya, tetapi hanya melalui musyawarah. sistem ini merefleksikan bentuk masyarakat demokratis yang sederhana yang tentu dapat mengantarkan pada penguatan nilai-nilai solidaritas karena keterlibatan semua pihak dan terhindar dari pertentangan di kalangan pengikutnya. Selain itu dengan adanya persyaratan kepemimpinan mengarahkan pada sebuah orientasi yang mapan. Melahirkan seorang pemimpin yang mampu mengawal para anggotanya menghadapi kerasnya perjuangan hidup.
Pada tahapan selajutnya, berevolusi pada penyatuan kabilah-kabilah dalam sebuah kelompok yang lebih besar dengan landasan kesamaan orientasi, bersatu dalam konfederasi kesukuan. Di Makkah misalnya, memiliki sebuah dewan klan yang diistilahkan dengan mala, yang bertugas untuk menangani otoritas moral dan tidak disertai dengan kebebasan bertindak. Ciri penting yang paling menonjol dari kofigurasi mereka adalah muruwah, yakni keberanian, kesabaran dalam menghadapi ketidak beruntungan, perlindungan terhadap orang yang lemah dan penentangan terhadap orang-orang yang kuat. Ini menjadi basis yang sangat kuat dalam membangkitkan perasaan harga diri dan martabat kehormatan masyarakat Arab dan mereka menjunjung tinggi sifat-sifat ini, sampai pada kemajuan peradaban yang membuatnya menjadi terkikis.
Pada sisi yang positif, aktivitas perdagangan yang bersifat imperatif, kontak dan identifikasi Arab secara luas melahirkan individu-individu yang bebas dari tradisi klan . pada sisi lain memungkinkan berkembangnya kesadaran diri, semangat kritis, atau mampu bersikap dengan tata nilai baru dan memungkinkan juga lahirnya kompetisi ekonomik, konflik sosial sampai pada kehancuran moral.
Aktivitas komersial melahirkan stratifikasi sosial berdasarkan kekayaan. Situasi individual dengan kesetiaan kelompok tak dapat dipadukan lagi. Nilai-nilai luhur yang bercorak kesukuan tergantikan oleh ambisi yang tamak dan arogan dan didominasi hedonisme, bangsa Arab seakan telah kehilangan identitas moral dan sosialnya. Setelah melalui proses perjuangan panjang menjadi berbalik arah. Kerusakan di bidang moral dan sosio-kultural dalam kehidupan masyarakat Arab terjadi secara serius. Penguburan bayi hidup-hidup, perbudakan, pemerkosaan, poliandri, perampokan, dan berbagai tindakan sewenang-wenang dan tidak adil menjadi ciri keseharian yang nampak dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Pada kultur keagamaan dan ideologi bangsa Arab juga bersifat heterogen secara khusus. Berproses terganti dengan bergantinya imperium-imperium di atasnya. Dalam perjalanan proses tersebut paling tidak ada dua kultur ideologi secara umum yang eksis dalam perputarannya, yakni monotheis dan politheis. Kedua kultur ini berjalan ada yang dalam bentuk terlembaga dan ada juga yang tidak.
Monotheisme dan politheisme sangat berbeda dalam memandang kehidupan dan manusia. Jikalau politheis memandang alam ini tercerai berai terdiri dari kekuatan yang tidak terkendali, sebaliknya monotheis memandang alam ini sebagai sebuah totalitas yang dicipta dan diatur oleh sebuah wujud tunggal yang merupakan sumber dari segala materi dan spirit. Politheis memandang manusia terbagi ke dalam kelompok klan dengan komunitas dan dewa masing-masing sedang monotheis menginginkan komunitas klan bersatu dalam keimanan untuk mencapai keselamatan dan sebagainya.
Konfrontasi pandangan ini terjadi hampir diseluruh jazirah Arab, di Arab selatan misalnya, politheis secara umum menjadi ideologi, kuil-kuil menjadi pusat kehidupan masyarakat, dan menjadi pusat administrasi para kepala tokoh agama mereka. Ideologi ini kemudian mengalami perbauran dengan ideologi monotheis yang dibawa oleh para pedagang ataupun berubah dibawah tekanan imperium. Entitas ideologi ini ada yang mengambil bentuk seperti Yahudi dan Nasrani dan ada juga yang belum belum mengambil bentuk yang diistilahkan dalam al-Quran sebagai hanif, yakni kelompok yang percaya pada ke-Esaan Tuhan tetapi belum memeluk keyakinan tertentu.
Hal serupa berlaku diseluruh jazirah Arab, kedua ideologi ini mengambil tempat dengan model masing-masing. Di Arab tengah, masyarakat yang dikenal dengan Arab Badui melakukan penyembahan pada nenek moyang mereka, mempercayai adanya dewa-dewa yang berupa pohon besar ataupun batu yang menempati tempat-tempat keramat yang harus dijaga kesuciannya. Di Hijaz juga demikian sampai di Arab Utara.
D. Kondisi Politik dan Ekonomi
Sebelum datangnya Islam bangsa Arab telah menjalani sebuah proses perjalanan sejarah yang panjang. Di Arab selatan misalnya, otoritas raja pertama kali berdiri sekitar 1300 SM. yang dikenal dengan daulah al-Mu’ayyaniyah sampai pada tahun 630 SM. kemudian ada juga daulah Sabaiyah yang melangsungkan kekuasaannya sekitar tahun 800 SM. sampai 115 SM. daulah ini yang disebutkan dalam bible bahwa ia memiliki seorang ratu yang memiliki hubungan dengan raja Sulaiman. Sekitar tahun 750 SM. salah seorang rajanya membangun bendungan Ma’rib yang sangat terkenal dan menjadi pusat pengairan pertanian pada kerajaan ini dalam waktu yang cukup lama. Daulah ini kemudian digantikan oleh daulah Himyariyah dari kabilah Himyar. Daulah Himyar ini berlangsung dalam dua periode yang pertama dengan ibu kota Raidan berlangsung dari tahun 115 SM.-300 M. periode ini merupakan awal kejatuhan dan kemunduran Saba’. Kemudian pada awal abad ke empat daulah Himyar periode kedua mencoba bangkit kembali dan berlangsung hingga tahun 525 M. pada periode ini terjadi goncangan akibat peperangan antar keluarga kabilah Himyar yang berakibat pada masuknya Romawi ke Aden sekitar tahun 340 M.
Di wilayah utara Arab, ada daulah al-Anbati yang berdiri sekitar abad keenam sebelum masehi. Daerah kekuasaanya sekitar Syam hingga bagian utara Syiria. Daulah ini diperintah oleh seorang raja yang mengklaim menerima otoritas ketuhanan dan memiliki beberapa administrasi yang memusat, tetapi benar-benar tergantung pada dukungan koalisi klan dan kepala suku. Pada tahun 85 SM. sebuah kerajaan baru yang beribukota di Petra menguasai sebagian besar Yordania dan Syiria. Kerajaan ini menjalin hubungan perdagangan dengan Yaman, Mesir, Damaskus dan kota-kota pesisir Palestina. Kerajaan ini berakhir pada tahun 106 M. ketika ia dihancurkan oleh pasukan Romawi. Kedua kerajaan ini telah menjalin hubungan cukup lama sekitar tahun 65 SM. dan menjadi buruk pada awal abad pertama hingga ditaklukkan. Kerajaan selanjutnya yang muncul setelah kejatuhan Petra ialah Palmyra, memperluas daerah kekuasaannya hingga ke seluruh wilayah padang pasir dan sejumlah perbatasan sekitar. Mengembangkan jaringan perdagangan, mengembangkan sejumlah kuil dan yang paling menandai kehebatan masyarakat Palmyra adalah menguatnya pengaruh hellenistik.
Pada pertengahan abad keenam seluruh kerajaan pinggiran mengalami disintegrasi. Jazirah Arab didominasi oleh dua kerajaan besar yaitu Byzantium (Romawi) di barat dan Sasaniyah (Persia) di timur. Byzantium berpusat di Konstantinopel dengan agama negaranya adalah Nasrani sedangkan Sasaniyah menjadikan Isfahan, Iran sebagai pusat kekuasaan dengan Zoroaster sebagai agama Negara. Kedua negara ini berupaya menegakkan dominasi terhadap kerajaan-kerajaan pinggiran demi melindungi perdagangan dan pengelolaan wilayah oasis.
Setelah Petra dan Palmyra hancur, Romawi berusaha mempertahankan propinsi-propinsi dengan merekrut serikat bangsa Arab sebagai pengawal mereka dalam menghadapi kekuatan Arab lainnya dan Sasania. Begitupun sebaliknya, Sasania menguatkan dominasinya dengan mengayomi sebuah negara kacil yakni kerajaan Lakhm yang diperintah oleh keluarga Lakhm yang berpusat di Hirah, sebuah kota di bagian hilir sungai Eufrat.
Pergelutan kekuasaan politik terus berlanjut, Byzantium dan Sasaniyah terus terlibat dalam konflik baik konflik langsung ataupun konflik pengaruh. Pasukan Abyssinia yang berada dibawa pengaruh Byzantium didorong untuk menguasai daerah-daerah di jazirah Arab. Mereka juga menyerang Arab tengah pada tahun 535 M. dan menerobos ke Hijaz pada tahun 570 M. termasuk menyerang Makkah walaupun gagal, demi mengamankan jalur perdagangan Yaman-Syiria. Di sisi lain ia kemudian terusir dari Yaman oleh kerajaan Sasania pada tahun 572 M. pada periode ini, perekonomian masyarakat Arab Selatan merosot dan kesatuan politik nyaris musnah, sementara Hijaz memulai fase kebangkitan perekonomiannya.
Di tengah pergolakan politik tersebut, Makkah tetap teguh dalam sistem politik non-blok, menentang perpecahan politik dan sosial, dan tetap memberikan perhatian utama dalam urusan sosial dan ekonomi. Makkah yang menjadi pusat penyimpanan berhala dan dewa-dewa kesukuan dan menjadi tujuan ziarah tahunan, yang juga disepakati sebagai bulan gencatan senjata memberikan keuntungan ekonomi bagi Makkah dengan memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk melakukan transaksi perdagangan bahkan sampai mendirikan lokasi khusus untuk proses transaksi perdagangan seperti rempah-rempah.
Setelah keruntuhan Petra dan Palmyra, Makkah secara tidak sengaja menjadi pewaris kemakmuran. Orang-orang Makkah menjalankan sistem politik integratif, membuat kesepakatan perjanjian keamanan perdagangan dengan daerah-daerah sekitarnya. Mereka mendatangkan rempah-rempah, sutera dan obat-obatan pakaian dan budak dari Afrika atau dari wilayah timur jauh untuk dibawa ke Syiria dan kemudian mereka kembali dengan uang, senjata, biji-bijian serta minuman anggur. Tapi perlu diperhatikan bahwa proses perdagangan yang dilakukan oleh Makkah bukan berarti terjadi hanya setelah keruntuhan dua daerah yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi perdagangan telah menjadi unsur terpenting dalam perekonomian Arab pra-Islam.
Pada mulanya Makkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di sekitar pusat kegiatan keagamaan yang selanjutnya kemudian meningkat menjadi pusat perdagangan bertaraf internasional. hal tersebut sangat memungkinkan karena posisi Makkah yang sangat strategis. Makkah berada pada jalaur perdagangan dari Yaman dengan Syiria juga dari Abysina ke Irak.
Burhanuddin Dallu menyebutkan faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra-Islam sebagai berikut :
1. Kemajuan produksi lokal berupa barang pecah belah dan kemajuan aspek pertanian.
2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia, dan Ethopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniyah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 525 M. dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 575 M.
7. Dibangunnya pasar lokal dan pasar musiman di Hijaz, seperti ‘Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, Pasar Bani Qaniqua, Dumat al-Jandal, Yamamah, dan pasar Wahat.
8. Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan Laut Merah.
9. Terisolasinya pedagangan orang Eithopia di laut merah karena diblokade tentara Yaman pada tahun 575 M.
Faktor-faktor yang disebutkan di atas didominasi oleh faktor eksternal, keberhasilan perdagangan bangsa Arab seakan-akan adalah peristiwa yang terjadi secara kebetulan atau hanya sekedar faktor keberuntungan dengan tidak mengabaikan faktor internal walaupun kecil. Padahal tidak bisa disanggah, bahwa beberapa faktor yang di sebut di atas tak memiliki makna tanpa adanya aktor-aktor intelektual sebagai bagian dari faktor internal yang mampu membaca dan memanfaatkan peluang-peluang tersebut.
Pencapaian kesuksesan perdagangan khususnya di Makkah tidak terlepas dari peran Hasyim, kakek nabi Muhammad sebagai aktor intelektual yang mampu membaca peluang-peluang tersebut, memiliki kemampuan diplomatis yang mengantarkanya pada kerjasama pada penjaminan keamanan dari imperium besar ketika melakukan perdagangan.

E. Penutup

Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yang dituangkan ke dalam beberapa point berikut :
1. Masyarakat Arab pra-Islam hidup dalam kondisi wilayah yang dominan tandus, gersang dan beriklim panas.
2. Masyarakat Arab pra-Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial, kepedulian terhadap keluarga ataupun suku. Dalam hal ini dikenal dengan istilah, asabiyah, tribal humanism, ataupun muruwah. Walaupun akhirnya terkikis oleh kemajuan peradaban.
3. Kondisi geografis jazirah Arab memberikan pengaruh besar pada pola mental dan kehidupan orang Arab.
4. Sistem perekonomian bangsa Arab adalah perdagangan, kemudian pertanian, peternakan ataupun juga berburu. Dan yang mendominasi adalah perdagangan, hal tersebut dikarenakan dua faktor yakni internal: kemampuan mereka melihat peluang bisnis, dan kemampuan diplomatis, serta adanya anggapan perdagangan adalah profesi bergengsi. Faktor eksternal : Letak geografis yang strategis, merosotnya perekonomian dua imperium besar karena pergolakan politik.
5. Sistem politik yang berlaku ada dua yakni sistem monarki dan konfederasi. Sistem monarki adalah kekuasaan politik warisan. Sebuah kekuasaan diwariskan dari seorang ayah kepada anak dan seterusnya, yang memiliki kekuasaan mutlak. Sedangkan komfederasi adalah sebuah kekuasaan politik yang terbentuk dari beberapa kelompok kabilah yang bersatu dalam majlis yang pemimpinnya dipilih secara demokrasi berdasarkan syarat tertentu, namun demikian tidak memiliki kekuasaan penuh.
6. Bangsa Arab pra-Islam terintegrasi ke dalam beberapa bentuk ideologi, baik berbentuk maupun tidak. Yaitu monotheis seperti Nasrani dan Yahudi juga politheis. Ideologi ini ada yang lahir karena proses interaksi sosial dan ada juga yang lahir dari sebuah represif imperium.
Keadaan-keadaan inilah yang menyambut datangnya Islam. Konflik sosial, politik dan keagamaan serta konflik ekonomi terjadi di tengah-tengah kelahiran nabi Muhammad saw. sebagai seorang Rasul menunggu untuk diselesaikan.









DAFTAR REFERENSI

Lapidus, Ira M.. Sejarah Sosial Umat Islam, alih bahasa Gufron A. Mas’adi. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Salim, Abdul Azis. Tarikh al-Daulah al-‘Arabiyah. Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah, 1986
Lewis, Bernard. The Arabs in History. New York: Harper & Row Publisher, 1967
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah Nahdah al-Misriyah, 1975
Watt, W. Montgomery. Muhammad, Prophet and Statesmen . London: Oxford University Perss, 1961.
Nicholson, R.A. A Literary History of the Arab. Cambridge: Cambridge University Press,1907.
Dallu, Burhan al-Din. Jazirat al-‘Arab Qabla al-Islam . Beirut: tp, 1989.

0 komentar

Posting Komentar