Pages

Bottom 2

Labels

Rabu, 16 November 2011

Dasar-dasar Ilmu, Knowledge, Science and Pseudoscience


A. Pendahuluan
            “Segala sesuatu tergantung kepada bagaimana kita memberikan definisi padanya”. Ungkapan ini mungkin tepat dalam memberikan gambaran tentang berbagai teori-teori keilmuan dengan kompleksitasnya, karena unsur konstruk paling elementer dalam struktur teori adalah defenisi atau batasan atau penjelasan suatu konsep. Pendefinisian awal akan mengantarkan sebuah implikasi yang beragam pada tataran lanjutan.
Pada pembahasan ini, yang akan dikedepankan adalah pengertian ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dengan segala derivasinya menjadi objek kajian, sedangkan pengertian atau pemberian defenisi menjadi perantara terbentuknya sebuah konsep yang utuh tentang objek. Dan dalam hal ini telah banyak ahli yang seakan-akan memiliki kebebasan untuk memberikan komentar pada konsep teori ilmu pengetahuan.
            Fungsi logis dari defenisi adalah memberikan batas arti atau makna simbolik dari suatu konsep, sehingga defenisi disamaartikan dengan batasan. Konsep manusia misalnya, perlu diberi batasan sehingga berbeda dengan konsep hewan atau batu. Pembuatan batasan tersebut pada dasarnya adalah memberikan penjelasan dengan menggunakan symbol lain yang lebih mudah dipahami.
            Membuat defenisi pada dasarnya adalah membuat batasan konsep tunggal. Ketika sejumlah konsep teori defenisi ditata relasinya atau ditata struktur paradigmanya, maka sejumlah konsep tersebut akan mengarah pada terciptanya sebuah pernyataan. Pernyataan tersebut dapat berwujud pendapat, hipotesis, asumsi atau bahkan sampai kepada struktur teori.
            Dalam penerapannya, defenisi akan sering berbenturan dengan sinonim, batasan atau penjelasan. Penjelasan yang dimaksud adalah memberikan keterangan agas suatu istilah menjadi jelas, sedangkan batasan adalah memberikan batas-batas arti istilah yang dijelaskan.
            Dari sisi kepentingan praktis untuk mengkonstruksikan sebuah teori tentang ilmu pengetahuan dalam pembahasa ini, paling tidak ada tiga bentuk defenisi yang akan diterapkan, yakni defenisi nominalis yang dibedakan menjadi dua, sinonim dan etimologi, kemudian defenisi realis serta defenisi praktis.
B. Knowledge, Science and Pseudoscience
            Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa objek pengkajian dalam bahasan ini adalah ilmu pengetahuan dengan segala derivasinya, dalam perspektif pendekatan defenisi. Derivasi yang dimaksud adalah objek lain yang timbul dari pembahasan permasalahan. Hal tersebut adalah Knowledge, Science dan Pseudoscince.
1. Knowledge
            Dalam tinjauan etimologi knowledge berasal dari bahasa Inggris yang berarti pengetahuan. Ini adalah pengembangan kata dari know yang berarti tahu yang kemudian dalam bahasa Indonesia mendapatkan imbuhan pe-dan -an menjadi pengetahuan.
            Kata tahu (know) pada tataran selanjutnya memiliki beberapa penurunan makna, yaitu:
a.       Bentuk pertama bermakna memiliki bentuk kemampuan khusus. Seperti ketika dikatakan “saya tahu main gitar”, kata tahu disini mengindikasikan kemampuan khusus memainkan gitar.
b.      Bentuk kedua bermakna mengenal tentang sesuatu atau seseorang. Seperti kata “ I know John”(saya tahu John) atau ” I Know the city” (saya tahu kota ini) kata tahu disini berorientasi pada makna kenal.
1.      Bentuk ketiga bermakna pengakuan terhadap sesuatu sebagai informasi. Seperti kata “if I know the way to Lugano” (jika saya tahu caranya ke Lugano).[i]
            Secara terminology, dalam Philosophy of Science A-Z dijelaskan bahwa defenisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (justified true belief). [ii] Hal ini sejalan dengan defenisi bahwa pengetahuan adalah suatu hal yang benar (the knowledge that something is true). [iii]
Di sisi lain, dikemukakan beberapa defenisi tentang pengetahuan yang diungkapkan oleh Amsal Bakhtiar :
a.       Menurut Sidi Gazalba bahwa pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu, yang itu adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.
b.      Loren Bagus menulis bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Disisi lain didefenisikan ke dalam dua bentuk yakni semua kehadiran internasional objek dalam subjek kemudian berarti putusan yang benar dan pasti.
c.       John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar berarti kontradiksi.[iv]
            Amsal Bakhtiar dalam hal ini tidak memberikan defenisi tersendiri atau mengambil kesimpulan dari tiga defenisi yang dia sebutkan, tapi hanya pada pengertian awal bahwa pengetahuan itu adalah hasil usaha manusia untuk tahu. Secara tidak langsung mengindikasikan kesepakatannya pada hal tersebut. Jika diperhatikan ketiga defenisi ini memiliki kesamaan, ketiganya mengarah pada hal tersebut yang disempurnakan oleh defenisi kedua dan ketiga dengan landasan kebenaran. Defenisi ini mensyaratkan dua hal yang bersifat internal dan eksternal. Syarat internal adalah adanya usaha sadar sedangkan eksternal adalah pengakuan kebenaran.
            John Hospers dan Knight, meyakini bahwa di dalam mengetahui memerlukan alat, yaitu pengalaman indera, nalar, wahyu, otoritas, intuisi dan keyakinan. Pendapat lain berkeyakinan bahwa pengetahuan didapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi. Pengamatan itu bermuara pada dua pengetahuan, rasional dan intuitif.[v] Syarat internal yang dikedepankan pada defenisi ini sebenarnya telah terinput pada defenisi sebelumnya tetapi pada bagian ini syarat internal usaha tersebut lebih mendetail yakni usaha pengamatan inderawi sampai pada keyakinan.
            Untuk mencapai sebuah pengertian utuh setelah pemberian defenisi tentang pengetahuan sebagai sebuah hasil usaha manusia untuk tahu dengan kesadaran, perlu diketengahkan analisa kondisi pengetahuan yang secara tidak langsung menjadi batasan antara pengetahuan dengan yang lain, yakni:
1.       Kondisi pertama dari pengetahuan adalah kebenaran (a truth condition). Maksudnya, jika saya tahu bahwa orang yag terpilih sebagai presiden itu memiliki modal sebanyak satu juta dollar kemudian orang terpilih sebagai presiden itu memang benar memiliki modal seperti. Tetapi jika kita tidak tahu bahwa orang itu memiliki modal kemudian mengaku mengetahui maka klaim pengetahuan kita tidak benar.
2.      Kondisi kedua pengetahuan adalah penerimaan (an acceptance condition). Penerimaan pada kondisi ini mengarah pada kepercayaan. Jika ada klaim mengetahui sesuatu, kemudian dia menerima atau percaya dengan hal tersebut.
3.      Kondisi ketiga pengetahuan adalah justifikasi (a justification condition). Penerimaan saja cukup untuk mengantar pada pengetahuan. Jika kita menerima dan mempercayai sesuatu tanpa ada bukti atau fakta pembenaran maka hal tersebut belum utuh.[vi]
Tiga kondisi di atas, kondisi kebenaran, penerimaan dan pembenaran menjadi syarat sesuatu bisa disebut pengetahuan atau wujud hasil dari usaha manusia untuk tahu. Ketiga kondisi ini harus terintegrasi.
Wujud pengetahuan pada tataran lanjutan kemudian oleh para ahli diklasifikasi ke dalam beberapa bentuk dengan kriteria masing-masing. Jan Hendrik Rapar misalnya yang membagi pengetahuan ke dalam tiga jenis, yaitu pengetahuan biasa (ordinary knowledge), pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), dan Pengetahuan filsafati (philosophical knowledge).[vii] Sedangkan Amsal Bakhtiar membaginya ke dalam empat jenis, yakni tiga pembagian di atas, pengetahuan biasa ( common sense/ good sense), pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat, kemudian pengetahuan agama.[viii]
2. Ilmu Pengetahuan (Science)
            Kata ilmu sebagai objek pada pembahasan ini jika ditinjau secara etimologi adalah serapan dari bahasa Arab : ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti atau memahami benar-benar.[ix] Ini adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris : Science. Kata science ini berasal dari bahasa Latin Scientia yang berarti pengetahuan. Kata scientia ini berasal dari kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui. Awalnya ilmu (sience) secara etimologis hanya berorientasi pada pengetahuan semata, kemudian berlanjut secara luas dengan menunjuk segenap pengetahuan sistematik, segenap pengetahuan yang teratur dalam bahasa Jerman wissenchaft,termasuk didalamnya pengetahuan alam (naturwissenchaften)  juga pengetahuan kemanusiaan (geisteswessenchaftenten), termasuk cakupannya adalah pengetahuan-pengetahuan tentang bahasa, sastra, estetika, sejarah, filsafat dan agama.[x]
            Sedangkan secara terminologi ilmu didefenisikan dengan bahasa dan istilah yang beragam. W. Atmojo mendefinisikan ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang itu. Sedangkan menurut Sumarna, ilmu dihasilkan dari pengetahuan ilmiah yang berangkat dari perpaduan proses berfikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris).[xi] Mulyadi Kartanegara mendefnisikan ilmu sebagai setiap pengetahuan yang terstruktur (any organized knowledge).[xii]
            Sheldon J. Lachman berpendapat bahwa ilmu menunjuk pertama-tama pada kumpulan-kumpulan yang disusun secara sistematis dari himpunan pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui teknik-teknik pengamatan yang objektif. Dengan demikian, isi ilmu adalah terdiri dari kupulan-kumpulan data yang teratur.[xiii] A.F Chalmers mendefinisikan ilmu secara singkat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh berupa fakta-fakta pengalaman. Hal senada diutarakan oleh J.J. Davies bahwa ilmu adalah suatu struktur yang dibangun di atas fakta-fakta.[xiv] Dan masih banyak lagi ahli-ahli yang mengutarakan pandangan-pandangan mereka tentang defenisi mereka tentang ilmu dengan ragam bahasa.
            Dari banyaknya ragam bentuk defenisi dari para ahli, pada dasarnya jika disimpulkan hanya mengarah pada sebuah orientasi yang sekurang-kurangnya menunjuk pada tiga hal, yakni aktivitas, metode dan pengetahuan.
1.      Aktivitas adalah ragam proses yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Paul K. Feyerabend bahwa ilmu itu adalah ketika manusia berhenti berspekulasi dan mulai meneliti atau bereksperimen.[xv] Penelitian atau eksperimen adalah salah satu aktivitas untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
2.      Metode adalah cara atau teknik tertentu yang terintegrasi dalam proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut. Setiap metode dijalankan sesuai dengan objek kajian masing yang kemudian dikenal dengan metode ilmiah.
3.      Pengetahuan adalah produk dari proses aktvitas ilmiah yang dibangun di atas metode-metode yang terstruktur sehingga menghasilkan pengetahuan yang tersistematis yang sesuai dengan syarat-syarat ilmiah.
3. Pseudoscience
            Dalam dunia realitas, kerap kali ditemukan istilah-istilah sinonim dari sebuah objek tertentu. Pada tataran tertentu istilah-istilah yang disinonimkan tersebut tepat adanya karena adanya kesesuaian dengan teori ilmiah. Namun di sisi lain ada juga istilah lain yang lahir dari spekulasi semata. Satu objek kadang mendapat defenisi yang beragam karena adanya keumuman makna atau memiliki kekhususan makna. Sains (science) misalnya yang berawal dari makna ilmu sampai pada pengkhususan hanya pada ilmu tertentu.
            Ilmu (science) sebagai sebuah istilah dari sebuah objek juga memiliki istilah lain yang kerapkali disamakan dan kadang juga dibedakan yakni dengan pengetahuan (knowledge) kadang juga disandingkan tanpa perbedaan dengan istilah ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge). Selain itu ilmu (science) kerapkali juga disandingkan dengan sebuah istilah yang memang agak berbeda, yaitu pseudoscience.
            Pseudoscience adalah sebuah istilah yang secara etimologi dari bahasa inggris yang terdiri dari dua kata yaitu pseudo yang berarti palsu, lancung atau gadungan seperti kata pseudo scholar yang berarti sarjana gadungan,[xvi] dan science yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika keduanya digabungkan maka maknanya akan menjadi kurang lebih “ilmu palsu” atau “ilmu gadungan”.
            Secara terminologi Karl Popper mendefinisikan pseudoscience sebagai istilah atas teori ilmiah yang bersifat palsu (falsifiable). Teori ini bukan berarti tidak benar, tapi teori ini membutuhkan pengujian melalui pengalaman. Jika dalam pengujian teori tersebut ternyata salah maka teori ini bersifat falsifiable dan menjadi bukti terbalik atas ketidakbenaran teori ilmiah tersebut. Menurut Karl Popper bahwa teori ilmiah  yang dikira benar tapi tidak membawa pada kondisi yang meyakinkan tidak bisa disebut ilmu secara mutlak tetapi ia istilahkan dengan pseudoscience.[xvii]  Jika melihat defenisi ini, boleh jadi yang dimaksud adalah teori yang berupa hipotesa.

C. Dasar-dasar Ilmu
            Ilmu sebagai objek kajian dari filsafat dalam kaitannya dengan filsafat ilmu memiliki dimensi-dimensi persoalan yang harus dijawab melalui pengkajian secara mendalam oleh filsafat ilmu, yaitu dimensi ontologism, epistemology, dan aksiologis.
1. Dimensi Ontologis
            Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1639 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis.  Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1757) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[xviii] Istilah metafisika berasal dari nama buku karya Aristoteles Methapisics, yang membahas macam-macam problem alam secara umum, yang ia sendiri tidak menyebut istilah ini seperti demikian. Aristoteles menyebutnya sebagai palajaran tentang keberadaan sebagai keberadaan (the study of being qua being). Ini membahas tentang apa yang ada, bukan hanya  yang ada di alam ini atau ada di dunia empiris meskipun itu termasuk di dalamnya. Metafisika seringkali diartikan setelah nyata “after phisics”  tapi ini hanya pengertian lain dari sesuatu yang ada dibalik yang ada atau hakikat sesuatu yang ada.[xix] Metafisika dapat diartikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.[xx]  
            Secara etimologi kata ontologi berasal dari bahasa Yunani on / ontos sama dengan being yang berarti “yang berada” dan logos sama dengan logic yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Jadi, ontologi adalah teori tentang keberadaan sebagai keberadaan (the theory of being qua being). Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan frote philosophia dan ilmu mengenai esensi benda.[xxi] Dalam perspektif yang sama menempatkan ontologi sebagai teori tentang apa yang ada dan apa yang penting tentang metafisik, studi yang menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.[xxii]
            Dari defenisi di atas menempatkan hakikat dari realitas sebagai objek dari dimensi ontologis. Hakikat yang dimaksud memiliki bentuk yang beragam. Pada dimensi kuantitas ada hakikat monisme, dualism, pluralisme, nihilisme  ataupun agnostisisme. Sedangkan ditinjau dari segi kualitas melahirkan hakikat materialisme dan idealisme.   
2. Dimensi Epistemologis
Efistemologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang artinya ilmu atau teori. Jadi, epistemologi berarti teori atau pikiran tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Istilah lainnya adalah filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knowledge).[xxiii]
            Dalam dimensi epistemologi ada tiga persoalan pokok yang dijelaskan secara sistematis, seperti yang disebutkan oleh Harold Titus, yaitu :
a.       Apakah sumber pengetahuan itu ? dari mana datangnya pengetahuan dan bagaimana cara mengetahuinya ?
b.      Apakah sifat dasar pengetahuan ? apa ada dunia di luar pikiran kita dan kalau ada bisakah kita mengetahuinya ?
c.       Apakah pengetahuan itu benar ? dan bagaimana kita membedakan benar dan salah?[xxiv]
Jawaban dari perihal-perihal di atas yang terintegrasi menjadi sebuah kesatuan dalam dimensi epistemologis  dengan berbagai sub dimensi yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Jadi pada intinya epistemologi mencakup sumber, sarana, metode dan atau bentuk bentuk, yang antara satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan pengaruh. Sumber yang dipandang  misalnya, ada empirisme, rasionalisme, positivisme atapun intuitisme..
Pada sub dimensi lain epistemologi menuntut adanya sarana, apakah itu akal, pancaindra dan lain-lain. selain itu juga adanya metode pada tahapan lanjutan, apakah itu metode induktif, deduktif kontemplatif, positivism, ataupun dialektis. Dan pada tahapan akhir mengantarkan pada adanya syarat pembenaran ataupun sistem.  

3. Dimensi Aksiologis
            Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori  atau ilmu. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Aksiologi juga diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. [xxv]ini mengantarkan pada pemahaman bahwa nilai adalah permasalahan utama dalam dimensi aksiologi.
            Dalam filsafat, teori tentang nilai mengacu pada etika dan estetika. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
a.       Etika
Conny R. Semiawan menjelaskan tentang etika sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Etika terkadang disebut moral sebagai prinsip atau standar perilaku manusia. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan sebuah predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lain.[xxvi] dalam proses pelaksanaannya akan berorientasi pada nilai yang objektif atau subjektif. Hasil akhir ini tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat.
b.      Estetika
Mengenai estetika, Semiawan juga menjelaskan sebagai sesuatu hal yang mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika mengkaji tentang hakikat hakikat indah dan buruk serta membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas dan juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode-mode estetis dari suatu pengetahuan ilmiah.[xxvii]
D. Penutup
            Dari uraian pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan yang dituangkan ke dalam beberapa point berikut :
1.      Pengetahuan (knowledge) adalah hasil usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan mensyaratkan paling tidak tiga kondisi agar dapat disebut sebagai pengetahuan, yaitu : kondisi benar sebagai lawan dari bohong dalam perspektif internal person. Kemudian kondisi penerimaan, serta kondisi justifikasi, pembenaran atau pengakuan secara eksternal.
2.      Ilmu (science) ialah pengetahuan yang disusun secara sistematis menurut metode-metode dan syarat-syarat tertentu, yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu pada bidang pengetahuan itu.

3.      Pseudoscience
Pseudoscience adalah teori tentang satu objek yang dianggap benar tapi masih membutuhkan pangujian karena adanya keidak yakinan dan dalam prose pengujian tersebut tidak membuktikan kebenarannya.
4.      Dasar-dasar Ilmu
            Dimensi-dimensi yang menjadi pembahasan ilmu, paling tidak ada tiga, yaitu ontologi, Epistemologi, dan aksiologi.
            Pertama, Ontologi membicarakan tentang apa yang ada dan apa yang penting tentang metafisik, studi yang menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental juba membicarakan tentang studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Kedua. Epistemologi membicarakan tentang sumber, sarana misalnya, ada empirisme, rasionalisme, positivisme atapun intuitisme. Persoalan selanjutnya adalah metode apakah itu metode induktif, deduktif kontemplatif, positivism, ataupun dialektis,.Pada sub dimensi lain epistemologi menuntut adanya sarana, apakah itu akal, pancaindra dan lain-lain. Dan pada tahapan akhir mengantarkan pada adanya syarat pembenaran ataupun sistem, yang antara satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan pengaruh. Ketiga, Aksiologi berbicara tentang nilai atau kegunaan dari sebuah ilmu.
  


DAFTAR REFERENSI

Bakhtiar, Amsal.  Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers, 2008.
Chalmers, A.F. What is this Thing Called Science ?. Indianapolis: Hacket Publishing Company, 1999.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris- Indonesia, an English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Gramedia, 2003.
Gie, The Liang.  Pengantar Filsafat . Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.
Ladyman, James. Ontological, Epistemological, and Methodological Positions, dalam Theo A.F. Kuipers (Ed.) General Philosophy of Science: Focal Issues. Amsterdam: Elsevier B.V., 2007.
Lehrer, Keith. Theory of Knowledge. United State of America: Westview Press, 1990.
Mumford, Stephen. Methaphisics, dalam Stathis Psillos and Martin Curd, The Routdledge Companion to Philosophy of Science. New York : Routledge, 2008.
Munawwir, Ahmad Warson.  Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Okasha,Samir. Philosophy of Science : a Very Short Introduction. New York: Oxford University Press, 2002.
Paul K. Feyerabend: Knowledge, Science and Relativism, dalam Philosophical Papers,Vol. 3, ed. John Preston. Cambridge : Cambridge University Press, 1999.
Psillos,Stathis. Philosophy of Science A-Z. Edinburgh: Edinburgh University Perss, 2007.
Susanto, A. Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu,. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003.



[i] Keith Lehrer, Theory of Knowledge (United State of America: Westview Press, 1990), 3-4.
[ii] Stathis Psillos, Philosophy of Science A-Z (Edinburgh: Edinburgh University Perss, 2007), 130.
[iii] Keith, Theory, 3.
[iv] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), 85-86.
[v] A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 137.
[vi] Keith, Theory,9-12.
[vii] A. Susanto, Filsafat, 137.
[viii] Amsal, Filsafat, 87-88
[ix] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989), 965.
[x] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), 126-127.
[xi] A. Susanto,filsafat, 76-77.
[xii] Amsal, Filsafat, 12.
[xiii] The Liang Gie, Pengantar Filsafat  (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 87.
[xiv] A.F. Chalmers, What is this Thing Called Science ? (Indianapolis: Hacket Publishing Company, 1999), 1.
[xv] Paul K. Feyerabend: Knowledge, Science and Relativism, dalam Philosophical Papers,Vol. 3, ed. John Preston (Cambridge : Cambridge University Press, 1999), 1.
[xvi] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris- Indonesia, an English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Gramedia, 2003), 454.
[xvii] Samir Okasha, Philosophy of Science:  a Very Short Introduction. (New York: Oxford University Press,2002), 13.
[xviii] Amsal, Filsafat, 134.
[xix] Stepen Mumford, Methaphisics, dalam Stathis Psillos and Martin Curd, The Routdledge Companion to Philosophy of Science (New York : Routledge, 2008), 27.
[xx] Tim Dosen, Filsafat, 31.
[xxi] A. Susanto, Filsafat..91.
[xxii] James Ladyman: Ontological, Epistemological, and Methodological Positions, dalam Theo A.F. Kuipers (Ed.) General Philosophy of Science: Focal Issues (Amsterdam: Elsevier B.V., 2007), 303.
[xxiii] A. Susanto, Filsafat..136.
[xxiv] Ibid, 103.
[xxv] Amsal, filsafat, 163.
[xxvi] A. Susanto, Filsafat, 118.
[xxvii] Ibid, 1

0 komentar

Posting Komentar