Pages

Bottom 2

Labels

Selasa, 22 November 2011

Tersebarnya Islam keluar Jazirah Arab (Implikasi dan Peranan terhadap Peradaban Dunia)


Oleh :Sirojul Umam
A.  Pendahuluan
Jazirah Arab adalah suatu tempat yang sangat luas yang memiliki berbagai macam etnik, budaya, tipologi (watak) dan Jazirah Arab adalah tempat munculnya Agama Islam.[i] Agama Islam muncul di jazirah arab sekitar tahun 610M. yang dibawa oleh Nabi Muhammad sekaligus menjadi Nabi terakhir. Penyebaran Agama Islam banyak menemui banyak kendala pada zaman Nabi Muhammad karena Ajaran Islam dinilai kontroversial dengan ajaran, tradisi dan budaya masyarakat arab pada waktu itu.
Pada periode Nabi Muhammad, Islam berhasil tersebar di Jazirah Arab.Periode pasca wafatnya Nabi Muhammad, Islam tidak lantas menjadi agama yang stagnan, namun justru setelah periode meninggalnya Nabi Muhammad dan Islam dipimpin oleh Khulafa>’ al Ra>shidi>n dan para Pemimpin Islam setelahnya itulah Ajaran Agama Islam bisa menyebar ke seluruh penjuru Jazirah Arab bahkan ke seluruh penjuru Dunia.Penyebaran Ajaran Agama Islam banyak memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan peradaban manusia dibidang Sosial, Budaya, Politik dan Ekonomi diseluruh belahan dunia.
Ajaran Islam sebenarnya tidak hanya menyangkut Theology (Kepercayaan, Agama) saja, namum ajaran Islam juga mengatur segala aspek kehidupan Ummatnya.Seperti di kutip dalam buku karanganH.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa “Islam is indeed much more than a sistem of theology, it is a complete civilization” (Islam sebenarnya lebih dari sekedar Kepercayaan (Agama), Islam adalah suatu peradaban yang sempurna).[ii]
Pembahasan tentang Implikasi dan Peranan Islam terhadap Peradaban Dunia sangat luas sekali tidak cukup hanya dengan pemaparan makalah semata, namun butuh lebih dari sekedar makalah untuk bisa mengupas tuntas Topik tersebut.
B.   Ciri dan Karakteristik Peradaban Arab Islam
Peradaban Yunani sangat terkenal dan kental akan Filsafat (penggunaan Akal) dari Yunani-lah banyak lahir ilmu-ilmu dan ilmuan-ilmuan yang banyak menyumbangkan pengetahuan bagi peradaban Dunia. Peradaban Romawi sangat mengagungkan kekuatan militer dan strategi peperangan demi perluasan wilayah kekuasaan.Peradaban Persia mengedepankan Kenikmatan duniawi dan Kekuatan peperangan dan pengaruh Politik.Peradaban India indentik dengan spiritualitas keagamaan dan sangat lengket dengan kepercayaan yang mereka anut pada saat itu.
Peradaban Islam membawa dampak besar bagi perkembangan peradaban Arab pasca Islam. Peradaban Islam mempunyai karakteristik unik dan terkenal dengan kekhususan serta keistimewaan  yang membedakan dengan peradaban lainnya. Peradaban Islam ditegakkan berasaskan Ajaran Agama Islam, Ajaran Agama Islam identik dengan kemanusiaan dan persatuan universal yang bertumpu pada aqidah Islam serta berpegang Teguh pada Al Quran dan Hadith.
Terdapat 4 (empat) karakter dan ciri peradaban Islam yang membedakan dengan peradaban Yunani, Romawi, Persia dan India yaitu Universalitas, Tauhid, Seimbang, Adil, Moderat dan Sentuhan Akhlak.[iii]
Universal mempunyai arti“umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia); bersifat (melingkupi) seluruh dunia[iv] adalah satu dari beberapa ciri khas Ajaran Islam, Agama Islam mengatur segala kehidupan Ummatnya tak hanya dalam beribadah namun juga mengatur segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari.Ajaran Islam yang toleran kepada semua makhluk hidup di bumi terutama Manusia yang dianggap Makhluk paling sempurna diantara makhluk Allah yang lainnya.
Tauhid bermakna ke-Esa-an Allah, kepercayaan yang kuat bahwa tuhan hanya satu yaitu Allah (Monotheism).Ummat Islam hanya mempercayai bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah.Peradaban Islam ditegakkan dengan asas ke-Tauhid-an yang mutlak.Islam berpegang teguh pada Kitab yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sebagai Mujizat yaitu Al Quran Al Karim, selain itu Islam juga berpedoman kepada Hadith sebagai sumber kedua setelah Al Quran.
Seimbang, Adil dan Moderat antara dua sudut yang saling berbeda dan berhadap-hadapan bahkan ketika saling bertentangan, tidak memihak atau tidak cenderung kepada satu sudut tanpa mengacu kepada Al Quran dan Al Hadith baik itu dalam hal Duniawi maupun Akhirat.Oleh karena itu, keharmonisan sesama Ummat Islam dan antar Ummat lainnya dapat terbentuk didukung dengan            ke-Universal-an Ajaran Islam.
Sentuhan Akhlak dalam perkembangan peradaban Islam adalah merupakan suatu point yang sangat memberikan pengaruh dukungan atas kejayaan Islam.Akhlak menjadi dasar nilai-nilai Islam dan masuk dalam setiap aturan kehidupan sosial, baik itu hubungan antara Manusia dan Manusia dan hubungan antara Manusia dan Tuhan. Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyempurnakan Akhlak, seperti sabda Nabi Muhammad :

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الاَخْلاَقْ (رواه الحاكم واحمد والبيهقى عن ابي هريرة(
Artinya : “Sesungguhnya aku utus engkau wahai Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Al-Hakim, Ahmad dan al-Baehaqi dari Abu Hurairoh)
C.   Penyebaran Islam ke Luar Jazirah Arab
Negara Islam tumbuh dengan kuat, terkonsentrasi, meluas, berkembang, menyebar dan bersifat terbuka.Saat itu Negara Islam memiliki potensi untuk tumbuh menjadi Negara kelas Dunia, tidak hanya menjadi Negara lokal atau regional.Hal ini yang mendorong para Khalifah pasca Nabi Muhammad Islam untuk memperluas kekuasaan dan penyebaran ajaran agama Islam.
Upaya penyebaran Islam dan perluasan wilayah kekuasaan islam keluar Jazirah Arab sudah dilakukan pasca Meninggalnya Nabi Muhammad. Penyebaran Ajaran Islam ke luar Jazirah Arab dilakukan dengan perluasan wilayah kekuasaan Islam dan Penaklukkan wilayah lain yang belum menganut Ajaran Islam atau bahkan menentang Ajaran Islam. Menurut Philip K. Hitti, Islam menaklukkan kawasan lain adalah bukan Islam (agama) namun Islam Negara.[v] Dengan kata lain, penaklukan dan perluasan wilayah itu dilakukan oleh Negara Islam.
Perluasan wilayah kekuasaan tidak lain hanya bermotif penyebaran Ajaran Islam, bukan dengan maksud lain seperti yang banyak dikemukakan oleh para Yahudi dan Nasrani pada saat itu yang menganggap motif dari Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak hanya untuk Agama, namun juga bermotif ekonomi yang. Kebanyakan orang Kristen mengeluarkan hipotesis bernada miring yang  dengan menampilkan gambaran orang Islam Arab membawa Al Quran ditangan kiri dan Pedang ditangan kanan.[vi]
D.  Faktor yang mendukung mudahnya Penyebaran Islam ke Luar Jazirah Arab
Ajaran Agama Islam menyebar keluar Jazirah Arab serta masuk beberapa Negara yang saat itu kebanyakan sudah mempunyai kepercayaan dan peradaban yang jauh lebih berkembang dari pada Negara Arab sendiri tidak luput dari beberapa Faktor pendukung yang menyebabkan Islam mampu menyebar ke seluruh Dunia. Beberapa Faktor penyebab yang membuat Islam mampu menyebar dengan cepat ke luar Jazirah Arab diantaranya adalah :
1.      Ajaran Islam tidak hanya berisi tentang Theology atau Ketuhanan semata, namun Ajaran Islam berisi tentang segala aspek kehidupan Ummatnya. Seiring dengan pernyataan Philip K. Hitti dalam bukunya yang mengatakan bahwa Islam bisa dilihat dari tiga corak, yaitu corak aslinya sebagai agama; kemudian menjadi suatu Negara (state), dan akhirnya sebagai suatu kebudayaan.[vii]
2.      Adanya kepercayaan yang dijadikan pedoman oleh para Pemimpin serta Penganut Islam untuk menyampaikan dan menyebarkan Ajaran Islam serta berda’wah di jalan Agama Islam.Prof. Richard C. Martin dalam bukunya yang berjudul “New Encyclopedia of Islam” mengatakan “Formula jitu dalam penyebaran Islam adalah Da’wa dengan melakukan pendekatan Sosial dan Pendidikan”.[viii]
3.      Adanya permintaan dari penduduk beberapa wilayah lain kepada Pemimpin Islam pada masa itu untuk membantu membebaskan mereka dari ketidak adilan dan penindasan dari rezim kekuasaan yang berkuasa di wilayah tersebut.Karena kemanapun kekuatan Islam datang, ia mem-proklamirkan ajakan kebebasan manusia dari penyembahan kepada selain Allah, dan memandang seluruh manusia sama serta menghormatinya apapun warna kulit dan rasnya.[ix]
Banyak cara yang di gunakan para Khalifah terdahulu dalam menyebarkan Ajaran Agama Islam, secara garis besar cara-cara penyebaran Islam tersebut diantaranya adalah :
·         Perekonomian : dengan menggunakan tabir perekonomian, Islam di sebarkan melalui jalur perdagangan internasional oleh para Saudagar Muslim. Seperti yang dilakukan pada masa Daulah Abbasiah yang menyebarkan ajaran Islam dengan cara melibatkan jaringan perdagangan internasional yang luas.[x]Cara ini mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran Islam, karena dengan cara inilah Da’wah Islam dengan mudah masuk dan diterima oleh Penduduk di wilayah yang masuk pada jalur perdagangan bangsa Arab Islam.
·         Pendidikan : Pemimpin Islam banyak mengutus Ulama’ ke berbagai Negara dan wilayah di luar Jazirah Arab untuk berda’wah tentang Agama Islam. Prof. Richard C. Martin dalam bukunya yang berjudul “New Encyclopedia of Islam” mengatakan “Formula jitu dalam penyebaran Islam adalah Da’wa dengan melakukan pendekatan Sosial dan Pendidikan”.[xi] Dengan cara ini para Ulama’ dapat berbaur dengan masyarakat luas dan sekaligus memperkenalkan serta menyebarkan Ajaran Agama Islam.
·         Politik &Peperangan :Penyebaran Islam dengan cara memerangi Negara atau kerajaan yang tidak mau menerima Islam sebagai agama baru atau bahkan menentang Islam. Tentara Islam terkenal dengan kekuatan dan keberanian untuk berperang demi menyebarkan Agama Islam atau Jihad fi Sabilillah. Montgomery Watt meng-istilah-kan Jihad fi Sabilillah dengan “Holy War”.[xii]
E.   Implikasi dan Peranan Islam pada Peradaban Dunia
Dengan terjadinya Penaklukan yang dilakukan oleh Kaum Islam ke berbagai Negara dan wilayah di luar Jazirah Arab, Muslimin Arab tidak hanya menguasai suatu wilayah secara geografis dan pemerintahan, namun Orang-orang Arab juga menguasai pusat peradaban bangsa yang wilayahnya telah ditaklukkan Islam.
Orang Arab menjadi pewaris tunggal berbagai budaya dan tradisi panjang sejak zaman Yunan – Romawi, Iran, Firaun dan Assyria – Babilonia dalam bidang seni, arsitektur, filsafat, kedokteran, ilmu pengetahuan, sastra dan pemerintahan.[xiii]Oleh karena itu Peradaban Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam Sejarah Peradaban Dunia.
Peran Peradaban Islam dalam Peradaban Dunia memang banyak diakui oleh para Ilmuan.Salah satu Sumbangsih Islam dalam Peradaban Dunia adalah dibidang keilmuan khususnya Ilmu SAINS. Menurut Gustave Le Bon dalam bukunya “Arab Civilization” yang berangan-angan “Seandainya Muslimin (Arab Islam) menjadi penguasa Prancis, niscaya Negara itu akan seperti Cordova di Spanyol yang Muslim.[xiv] Dia juga mengatakan mengatakan tentang kehebatan Peradaban Ilmiah dalam Islam “Sesungguhnya bangsa Eropa itu hanya sebuah kota bagi negeri Arab (kaum muslimin) dengan kehebatan Peradabannya.Beberapa Ilmu SAINS sumbangan dari Peradaban Islam diantaranya adalah dibidan Kedokteran, Fisika, Optik, Arsitektur, Geografi, Astronomi (Falaq).[xv]
Peradaban Islam juga berperan penting dalam pembentukan Akidah.Seperti kita ketahui bahwa masyarakat terdahulu tidak mengenal Tuhan dan yang harus disembah atau kepercayaan tentang Pencipta Alam.Kaum muslimin datang dan menyebarkan pemahaman yang berbeda, Islam mengajarkan bahwa adanya Pencipta Alam serta adanya Allah yang harus disembah yang menempati kedudukan tertinggi di atas segala-galanya, hanya Allah yang patut disembah.Zaman terdahulu terdapat kepercayaan di Jazirah Arab untuk menyembah dan mengagungkan patung berhala, sedangkan peradaban Yunani meyakini bahwa ada banyak dewa-dewa yang berkuasa yang mengatur Bumi dan isinya.Peradaban Romawi sudah menganut kepercayaan Nasrani yang terbagi menjadi dua aliran besar yaitu Katolik dan Protestan.[xvi]
Sumbangan Peradaban Islam dalam Peradaban Dunia yang lainnya adalah Sistem Pemerintahan dan Kelembagaan.[xvii]Seperti kita ketahui, Zaman dahulu peradaban dunia identik dengan sistem Monarki Kerajaan. Namun Islam datang membawa sistem pemerintahan baru yang lebih terorganisir yaitu dengan sistem kepemimpinan atau disebut dengan Pemerintahan Khilafah yang di pimpin oleh Khalifah, sistem ini tidak berbeda jauh dengan sistem kepemimpinan seperti yang dianut oleh banyak Negara di Dunia saat ini yaitu sistem Kepemimpinan Presiden. Seperti yang dikemukakan oleh Abul Ala’ Al Maududi “Bentuk pemerintahan yang benar, menurut Al Quran, ialah adanya pengakuan Negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislative dan kedaulatan hokum tertinggi kepada keduanya dan meyakini bahwa Khilafahnya itu mewakili sang hakim yang sebenarnya, yaitu Allah SWT”.[xviii]Kesimpulan dari pernyataan Abul Ala’ Al Maududi adalah kita harus meyakini bahwa Pemimpin di Dunia (Khalifah) adalah hanya sebagai pengganti Allah dimuka Bumi, bukan Pemilik Negara, juga terdapat koridor-koridor terbatas yang menaungi Pemerintahan.
Penyebaran Islam ke luar Jazirah Arab mempunyai Dampak Positif.Dampak Positif yang diterima Ummat Islam dan Agama Islam atas tersebarnya Islam ke Luar Jazirah Arab secara global adalahIslam menjadi agama Fenomenal dan Terbesar dalam sejarah Peradaban Dunia yang sempat menguasai Peradaban dunia pada masa keemasan penyebaran Islam. Berkat upaya-upaya yang dilakukan para pendahlu Muslim untuk menyebarkan Islam.Islam memiliki masa keemasan dalam penyebarannya, namun pada suatu masa Islam mengalami masa kemunduran dan kekalahan dikarenakan banyak factor.
Bercampurnya Budaya antara Tradisi dan Budaya Arab Islam dengan Tradisi dan Budaya bangsa lain. Ini dibenarkan dengan adanya teori Asimilasi dan teori Akulturasi. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru sedangkan Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.[xix]
Berkembangnya pemikiran Masyarakat Islam yang membuahkan banyak Karya Pemikiran baru serta melahirkan Ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi peradaban Dunia. Hal ini dibenarkan oleh As Sarjani dalam bukunya yang berjudul “Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia”, As Sirjani mengungkapkan dalam bukunya tentang betapa besar peranan Peradaban Islam dalam perkembangan Ilmu di Dunia.
F.   Penutup
Penyebaran Islam keluar Jazirah Arab sudah di lakukan pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Para Khalifah dalam system pemerintahan Khilafahnya berusaha untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru Dunia dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah dengan Perdagangan (dengan banyaknya saudagar Muslim yang berdang ke seluruh dunia), Pendidikan (menyebarkan para Ulama’) serta menguasai Perpolitikan atau Peperangan.
Sejarah Perkembangan Islam juga banyak mengukir sejarah pada Peradaban Dunia.Banyak sumbangan yang diberikan Peradaban Islam bagi Peradaban Dunia diantaranya adalah dalam bidang pendidikan, social, ekonomi, budaya dan tradisi serta system pemerintahan.Hal ini banyak diakui oleh para ahli Sejarah Arab maupun Barat.
Daftar Referensi
1.    J. Silverstein Adam, Islamic History, A very short introduction (London: Oxford University Press, 2011)
2.    Rosskeen Gibb, Hamilton Alexander (ed.), Whither Islam? A Survey of Modern Movement in The Moselem World (London: Victor Gollanz Ltd.,1932)
3.    As Sirjani, Prof. Dr. Raghib. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011)
4.    K. Hitti, Philip. History Of The Arabs,from the Earliest Time to the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010) Terjemahan.
5.    K. Hitti, Philip. History of the Arabs from the Earliest Times to the Present,(London: The Macmillian Press, 1970)
6.    Akram Diya al-Umari, Tolok Ukur Peradaban Islam, Arkeologi Sejarah Madinah dalam Wacana Trans-Global, terj. Hasani Asro dan A. Fawaid Syadzili, (Yogyakarta, IRCiSod, 2003)
7.    Al Maududi, Abul Ala’. Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi kritis atas sejarah Pemerintahan Islam. (Bandung: Mizan, 1994)
8.    C. Martin, Richard. New Encyclopedia of Islam. (USA; Macmillan Reference USA, 2004)
9.    Website, Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kamusbahasaindonesia.org/)



[v]K. Hitti, Philip. History Of The Arabs,from the Earliest Time to the Present (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 182
[vi] Ibid., 179
[vii]K. Hitti, Philip. History of the Arabs from the Earliest Times to the Present,(London: The Macmillian Press, 1970), 145
[viii]  C. Martin, Richard. New Encyclopedia of Islam. (USA; Macmillan Reference USA, 2004). 170
[x]Lihat selengkapnya di buku Karya Philip K. Hitti, History of the Arabs., 428
[xi]   C. Martin, Richard. New Encyclopedia of Islam. (USA; Macmillan Reference USA, 2004). 170
[xii] Dalam buku “The Majesty that was Islam” hal.33, karangan W. Montgomery Watt mengungkapkan beberapa fakta yang menyebutkan Penyebaran Islam banyak dilakukan dengan Peperangan dan penaklukkan. Para pasukan Islam masuk ke sebuah Negara dengan menawarkan pilihan “Islam or the Sword” yang maksudnya adalah Masuk Islam atau Berperang (pedang).
[xiii]K. Hitti, Philip. History Of The Arabsfrom the Earliest Time to the Present (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 216-217
[xiv]Keterangan ini saya kutip dari buku karya As Sirjani.Lihat, As Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia.Hal. 270
[xv]As Sirjani, Prof. Dr. Raghib.Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), 270
[xvi]Lihat selengkapnya pada buku karangan As Sirjani yang berjudul “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia” hal. 357-368
[xvii] Ibid., 419

SHI’AH ITHNA ‘ASYARIYAH

(Sebuah Tinjauan Sejarah dan Pokok-pokok Pemikiran Teologis)


A. Pendahuluan
Dunia pemikiran, atau lebih tepatnya  pemikiran Islam telah menjadi persoalan yang sangat menarik digeluti oleh para intelektual, bukan hanya intelektual muslim tapi juga intelektual dari berbagai lintas ideologi. Hal ini dapat dijelaskan, terutama perkembangan pemikiran teologis kontradiktif.
Fenomena yang digali oleh para intelektual tentang perkembangan pemikiran Islam khususnya pemikiran “teologis kontradiktif” adalah adanya keterkaitan hubungan yang kuat antara adanya pemikiran-pemikiran  tersebut dengan peristiwa-peristiwa historis. Keterkaitan antara kedua hal tersebut, menuntut studi komparatif agar hasil studi mencapai sasaran yang semestinya.
Islam dalam tinjauan historis, memberikan fakta keragaman adanya banyak bentuk-bentuk pemikiran baik teologi, fikih, politik, pilsafat, tasawuf dan lain sebagainya. Karena memang sejak awal Islam telah memberikan keluasan dan kebebasan berfikir dan berekspresi kepada umatnya dengan tetap memberikan kata kunci untuk berpegang pada sumber utama al-Quran dan hadis, yang nantinya kemudian bermuara pada lahirnya aliran-aliran ataupun madzhab-madzhab yang juga sampai memiliki submadzhab.
Dalam sejarah agama Islam terdapat sebuah polarisasi aliran keberagamaan yang secara garis besar terbagi ke dalam dua bentuk kelompok yakni yang disebut aliran S}i’ah dan aliran Sunnah atau aliran S}i’iy dan aliran Sunniy[i]. Kedua kelompok ini bertahan dan berkembang sampai sekarang. Dalam proses perjalanannya, kedua kelompok besar ini melahirkan kelompok-kelompok baru yang lebih kecil dengan corak yang beragam karena adanya perbedaan pemahaman terhadap sumber-sumber pokok masing-masing.
S}i’ah Ithna As}ariyah adalah salah satu sekte dalam mazhab besar S}i’ah. Untuk saat sekarang, kelompok ini yang memiliki pengikut yang paling banyak dan mendominasi pemikiran banyak orang. Ketika orang menyebut S}i’ah, maka yang terbayang adalah sekte ini. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui sekte S}i’ah Ithna As}ariyah ini, bagaimana sejarah munculnya, pokok-pokok pemikiran ataupun perpkembangannya .
B. Pengertian Shi’ah Ithna As}ariyah
            Shi’ahIthna As}ariyah terdiri dari dua kata, yaitu Shi’ah dan  Ithna As}ariyah.  Secara etimologi, kata Shi’ahberarti pengikut, golongan, sahabat dan penolong. Istilah S{i’ah, selanjutnya berkembang dengan arti khusus, yaitu nama bagi sekelompok orang yang menjadi partisan atau pengikut Ali bin Abi T{alib dan keturunan-keturunannya.  Untuk merumuskan pengertian Shi’ahsecara sempurna memang sangat sulit, karena Shi’ahtelah melalui proses sejarah yang panjang dengan segala peristiwa yang ikut mempengaruhi ajarannya. Namun al-S{ahrastani mendefinisikan Shi’ahsebagai istilah khusus yang dipakai untuk pendukung atau pengikut Ali Bin Abi Thalib yang berpendirian bahwa pengangkatan Ali sebagai imam atau khalifah berdasarkan kepada nash dan wasiat, serta mereka berkeyakinan bahwa keimaman tersebut tidak terlepas dan terus berlanjut pada keturunan-keturunannya.[ii]
Sedangkan Ithna As}ariyah, adalah istilah atau nama angka yang berada pada urutan kedua belas (Ithna As}ar) yang ditambahkan ya nisbah yang bermakna pengikut. Kelompok ini, dinamakan demikian karena kepercayaan mereka yang kuat tentang imam yang berjumlah dua belas orang.[iii] Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sebagai landasan tentang keyakinannya tersebut. Di antaranya adalah :
وبعسنامنهم إثني عشر نقيبا
“.. dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin…”[iv]
وقطعنهم إثني عشرة أسبطا أمما
 “ Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar …”[v]
إن عدة الشهور عند الله إثنا عشرشهر في كتاب الله
“ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah..” [vi]
            Selain itu mereka juga mengetengahkan beberapa alasan lain, seperti tahun berjumlah 12 bulan, kalimat La> Ila>ha illa Allah, kalimat Muhammad al-Rasu>lulla>h, kalimat ‘Ali Ibn Abi T{a>lib, serta Ami>r al-Mu’mini>n semuanya berjumlah dua belas huruf.[vii] Landasan dengan mengetengahkan kalimat-kalimat tersebut sangat subjektif, sebab ada nama-nama lain dengan jumlah huruf yang sama seperti ‘Umar bin Khat}t}ab, Yazid bin Mu’a>wiyah, atau al-H{ajja>j bin Yus>uf  yang notabenenya bersebrangan dengan mereka tak dijadikan sebagai landasan alasan.
            Adapun dua belas imam yang mereka percayai adalah :
1.      ‘Ali> bin Abu Talib (w. 661)
2.      Al-H{asan bin ‘Ali> (w. 669)
3.      Al-H{usayn bin ‘Ali> (w. 680)
4.      ‘Ali Zain al-‘Abid>in (w. 714)
5.      Muh}ammad al-Baqi>r (w. 733)
6.       Ja’far al-S{a>diq (w. 765)
7.      Mu>sa> al-Kaz}im (w. 799)
8.      ‘Ali> al-Rid}a (w. 818)
9.      Muh}ammad Jawa>d al-Taqi> (w. 835)
10.  ‘Ali> al-Naqi> (w. 868)
11.  Al-H{asan al-‘Askari> (w. 874)
12.  Muh}ammad al-Qa>’im (al-Muntazar)[viii]
C. Asal-usul Shi’ah Ithna As}ariyah
            Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin Affan, telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair di Makkah yang mendapat sokongan dari Aisyah yang pada akhirnya dapat dipatahkan oleh Ali bin Abi Thalib pada tahun 656. Tantangan kedua adalah penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan terjadinya perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi Thalib) dengan Muawiyah.[ix]
            Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam.
            Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali.[x]pada saat yang bersamaan juga muncul satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal dengan nama S{i’ah, yang dalam perekembangnya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri.
            Shi’ahdalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan pergolakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Isu terpenting yang menjadi fokus perhatian mereka bukanlah masalah hukum  atau mistisisme (tasawuf) melainkan loyalitas terhadap khalifah Ali.[xi] Mainstream itu kemudian berkembang setahap demi setahap, dan pada akhirnya menjadikan Shi’ahsebagai sebuah mazhab atau aliran yang memiliki ajaran-ajaran tersendiri dalam bidang politik, teologi, fiqih, dan bidang lainnya.
            Dalam persoalan ini penegasan yang dikedepankan adalah bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib. Shi’ahmuncul sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Shi’ahdikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolok ukur beriman tidaknya seseorang.
            Dalam perkembangannya, Shi’ahdapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Shi’ahitu sendiri. Tetapi sekalipun Shi’ahterpecah kepada beragam sekte, namun mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Shi’ahsecara menyeluruh. Salah satu sekte dalam Shi’ahadalah Shi’ahIthna As}ariyah, sebuah sekte yang meyakini 12 imam.
            Sekte Shi’ahIthna As}ariyah lahir ketika Imam Ja’far al-S{adiq meninggal pada tahun 765 M. Shi’ahImamiyah terpecah kedalam dua kelompok, pengikut putra Ja’far yang bernama Abdullah dan kelompok putra Ja’far yang bernama Isma’il.[xii] Selain itu, Ja’far juga memiliki seorang putra yang bernama Musa al-Kaz}im yang selanjutnya diakui sebagai Imam pengganti Ja’far al-S{adiq oleh Shi’ahIthna As}ariyah.
            Kelompok pertama yang menjadikan Isma’il sebagai Imam pengganti, tidak diakui oleh sebagian yang lain seperti kelompok Shi’ahIthna As}ariyah. Kelompok ini berpendapat bahwa  tidak pernah menyerahkan keimamannya kepada Isma’il, dikarenakan Isma’il meninggal sebelum ayahnya Ja’far al-S{adiq meninggal dunia.  Isma’il meninggal pada tahun 760 M. sekitar lima tahun sebelum meninggalnya Ja’far al-S{adiq pada tahun 765 M.[xiii]
            Kelompok yang lain pada awalnya meyakini Abdullah al-Aftah adalah pelanjut keimaman Ja’far al-S{adiq sebagai putra sulung, karena adanya riwayat dari sang Imam bahwa “Urusan akan berada pada anak sulung, selama tidak punya cacat” (al-Kafi, vol. I. h. 351-352.) Dengan cara ini, Abdullah al-Aftah menduduki posisi Imamah melalui wasiat dan karena menjadi anak sulung, dan menduduki tempat duduk ayahnya. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama hingga ada yang meragukan keimamannya karena adanya cacat. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah riwayat :
 “ His}am bin Salim al-Jawaliqi berkata bahwa ia sekali waktu pergi kepada Abdullah al-Aftah bersama-sama dengan sekelompok S{i’ah, dan bertanya kepadanya perihal masalah fiqh, tetapi ia tidak memberi jawaban kepada mereka dengan tepat, dan hal itu menjadikan mereka ragu pada Imamahnya dan mereka meninggalkan dia  BINGUNG dan tersesat, sehingga kami duduk di suatu sudut Kufah sambil menangis dan bingung tidak mengetahui kemana untuk kembali atau pergi. Kami berkata: Kepada Murji’ah? Kepada Zaydiah? Kepada Mutaziliah? Kepada Kharijiah? Kami berada pada kondisi itu hingga ketika aku melihat orang tua yang aku tidak mengenalnya, membuat suatu isyarat dengan tangannya. Ia berkata kepadaku: “Semoga Allah berbelas-kasih kepada kamu. Maka saya masuk ke sana dan aku menemukan Abu al-Hassan Musa. Ia berkata lebih dahulu kepadaku. “Tidak kepada Murjiiah, maupun kepada Qadariah, maupun kepada Zaydiah, maupun kepada Mu’taziliah, maupun kepada Kharijiah…. Tetapi kepada saya, kepada saya! Aku berkata kepada dia: Semoga aku menjadi tebusanmu, apa ayahmu sudah meninggal?. Ia menjawab: ’Ya’.... Saya bertanya: Kemudian siapa yang bertanggung-jawab atas masyarakat setelah dia?. Ia menjawab: “Jika Allah berkehendak membimbing kamu, Ia akan membimbing kamu.”..... Aku berkata: Semoga aku menjadi tebusanmu, apakah Anda orangnya? Ia berkata: “Tidak, aku tidak mengatakan hal itu.” Aku kemudian berkata kepada diriku: Aku tidak bertanya secara benar. Aku kemudian berkata: “Adakah Imam di atas kamu.” Ia berkata: “Tidak”. Kemudian sesuatu dari rasa hormatnya dan perasaan kagum yang hanya Allah yang mengetahui, memasuki diriku. Kemudian aku berkata: “Haruskah aku bertanya kepada Anda sebagaimana ketika aku bertanya kepada ayahmu?” Ia berkata: “Bertanyalah…. Dan kamu akan diberitahu, tetapi jangan sebarkan (fakta ini), dan jika kamu melakukannya, kamu akan dibantai.” Kemudian aku bertanya kepada dia dan menemukan dia, sebagai lautan (ilmu) yang tidak bisa dihabiskan. Aku berkata: Semoga aku menjadi tebusanmu.....para pendukung (S{i’ah) ayahmu telah tersesat (tanpa seorang pemimpin). Bolehkah aku menyatakan hal ini kepada mereka dan mengajak mereka mengikuti dirimu? Karena Engkau telah mendapatkan (suatu janji) yang bersifat rahasia dari aku.” Ia berkata: “Seseorang yang kamu temukan untuk dibimbing, kamu dapat menyatakannya di depan dia, dan membebani suatu rahasia pada dia, jika ia menyebarkan hal itu, ia akan dibantai” dan ia memperlihatkan dengan meletakkan tangannya pada kerongkongannya. Kemudian aku pergi ke luar dari tempatnya dan menjumpai Abu Ja’far al-Ahwal, dan ia berkata kepadaku: “Apa yang terjadi padamu?“ Aku berkata: ’Bimbingan’ dan aku menerangkan kepadanya cerita tersebut. Kami kemudian menemui Fudail dan Abu Basir, mereka pergi kepada Imam, mendengarkan pernyataannya, bertanya kepada dia dan kemudian setuju untuk mengikuti dia.” (Kulayni: Al-Kafi, vol. 1 hal. 351).[xiv]

Dalam kisah ini digambarkan bahwa pada awalnya orang-orang telah setuju pada Imamah 'Abdullah al-Aftah, namun kemudian dianggap memiliki cacat, karena tidak mampu memberikan solusi kepada para pengikutnya. Berbeda halnya dengan Musa al-Kaz}im, yang memiliki sifat-sifat imam, sehingga dia diakui sebagai pelanjut dari ayahnya sebagai imam yang ketujuh. Musa al-Kaz}im selanjutnya memegang jabatan Imam sampai tiga puluh tahun lamanya.[xv]
            Kepemimpinan Imam terus berlanjut dari Musa al-Kaz}im kepada anak keturunannya, yakni ‘Ali bin Musa dengan laqab al-Rid}a kemudian Muhammad bin ‘Ali dengan laqab al-Jawad al-Taqy, dilanjutkan oleh ‘Ali bin Muhammad dengan laqab al-Hady al-Taqy. Imam keseblas dari golongan Shi’ahIthna As}ariyah dijabat oleh putra ‘Ali yang bernama al-Hasan bin ‘Ali dengan laqab al-As}kary al-Zaky. Imam yang kedua belas adalah Muhammad bin Hasan dengan laqab al-Hadi al-Qaim al-Hujjah.
            Dalam proses perjalanan suksesi kepemimpinan imam dalam S{i'ah, setelah kematian imam kesebelas, Imam al-Hasan al-As}kary pada tahun 874 M, mengambil langkah kesejarahan yang baru. Imam al-Hasan al-As}kary tidak memiliki pelanjut, dikarenakan putranya Muhammad bin Hasan yang dianggap sebagai imam keduabelas menghilang pada masa kecilnya. Pada masa ini, sebuah konsep kimaman dikembangkan sebagai langkah kesejarahan baru, bahwa ketersembunyian imam keduabelas bukan berarti ketiadaan atau telah meninggal, melainkan dalam pengasingan diri dan akan kembali sebagai al-Mahdi pada akhir zaman.[xvi]
            Konsep lanjutan yang dikembangkan dari ketiadaan imam adalah adanya na’ib atau wakil imam yang bertugas sebagai penghubung sang Imam dengan pengikutnya, pada masa ini sang Imam tetap menyampaikan ajaran-ajarannya melalui wakilnya. Peristiwa ini dikenal dengan istilah gaibat al-shugra (periode kegaiban kecil) periode tersebut berlangsung sekitar tahun 874 sampai 941. Pada periode selanjutnya di mana tidak ada lagi komunikasi langsung dengan sang Imam, periode ini dikenal dengan gaibat al-kubra (periode kegaiban besar). Pada periode ini komunitas S{iah berjalan menuju konsepsi eskatologis tentang imamah dan menuju doktrin mengenai suksesi kesejarahan imam-imam pengganti imam kedua belas.[xvii] Konsep ini terus berlangsung hingga sekarang.
D.   Pemikiran-pemikiran Shi’ah Ithna As}ariyah
            Pembahasan tentang pemikiran-pemikiran Shi’ahIthna As}ariyah memiliki cakupan yang sangat luas yang terdiri dari beberapa aspek, baik aspek pemikiran hukum, sosial, politik ataupun aspek pemikiran teologis. Namun, dari banyaknya ragam hasil pemikiran tersebut komunitas ini memiliki beberapa pemikiran-pemikiran yang mendasar yang menandai komunitas ini. Adapun prinsip-prinsip dasar  pemikiran yang mengakar pada kekokohan keyakinan dalam Shi’ahIthna As}ariyah adalah : 


1. Wishayah
      Penganut Shi’ahIthna As}ariyah, berpendapat bahwa Nabi telah menunjuk pengganti yang dinilai memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin ruhani dan pemimpin umat sekaligus. Pengganti yang dimaksud adalah Ali dan sebelas keturunannya. Dengan demikian para imam imam dalam konsep Shi’ahIthna As}ariyah adalah melanjutkan kepemimpinan Nabi yang bertugas memberi petunjuk, pemelihara dan penjelas hukum Allah.
Selain itu, sebagai legitimasi hukum atas penunjukan Ali sebagai pemimpin setelah nabi Muhammad adalah al-Quran :
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang.”[xviii]
                Menurut mereka, bahwa yang dimaksud wali (pelindung) setelah Allah dan Rasul yaitu orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku adalah Ali. Hal tersebut diperjelas dalam hadis dalam riwayat mereka.
            Dikutip dalam kitab al-Burha>n dan Ga>yat al-Mara>m  dari al-S{adu>q dalam isnad-
nya dari Abu al-Ja>ru>d dari Abu Ja’far as. tentang firman Allah (إنماوليكم الله ورسوله والذين أمنوا) Ia berkata : sesungguhnya sekelompok Yahudi yang telah masuk Islam,  di antara
mereka adalah Abdullah bin Sala>m, Asad, S{a’labah, Ibnu Ya>mi>n, Ibnu Su>riya menghadap kepada Nabi SAW. mereka berkata : ya Nabi, sesungguhnya Musa telah berwasiat kepada Yu>s}a bin Nu>n. maka siapakah yang akan engkau beri wasiat ya Rasul? dan siapa pemimpin (wali) kami setelahmu ? kemudian turunlah ayat di atas (QS. 5 :55) kemudian Rasulullah bersabda : “berdirilah” kemudian mereka berdiri dan Rasul menyuruh mereka menuju mesjid. Dan ketika para penanya itu keluar dari masjid, Rasul bertanya kepada mereka “ apakah ada seseorang yang telah memberi kalian sesuatu?” mereka berkata : ya, cincin ini. Rasul berkata “ siapa yang memberimu?” mereka menjawab “ kami diberikan oleh laki-laki yang sedang shalat, yakni Ali. “ bagaimana posisinya ketika ia memberikan cincin itu?” dia sedang ruku” jawab mereka. Kemudian Nabi bertakbir dan bertakbir seluruh penghuni masjid. Kemudian Nabi bersabda: Ali adalah wali kalian setelahku” kemudian mereka berkata :
رضينا بالله ربا وبمحمد نبيا وبعلي بن أبي طالب وليا
Kemudian Allah menurunkan ayat : ومن يتول الله ورسوله والذين أمنوا فإن حزب الله هم الغالبون
(QS. 5 : 56).[xix]
Hadis senada juga diungkapkan yang dikutip dari kitab al-Qumy:
(في تفسير القمي) قال: حدثني أبي عن صفوان عن أبان بن عثمان عن أبي حمزة الثمالي عن أبي جعفر عليه السلم: بيننا رسول اللّه صلّي اللّه عليه وسلّم جالس وعنده قوم من اليهود فيهم عبداللّه بن سلام إذانزلت عليه هذه الآية فخرج رسول اللّه صلّي اللّه عليه وسلّم إلي المسجد فستقبله سائل فقال هل أعطاك أحد شيئا قال نعم ذالك المصلي فجاء رسول اللّه صلّي اللّه عليه وسلّم فإذا هو علي عليه السلم[xx]

Terlepas dari otentisitas hadis, dalam tinjauan makna matan, ada yang perlu dikritisi. Ali dalam riwayat ini sedang shalat dan memberikan cincin ketika dalam posisi ruku. Hadis ini seakan dipaksakan untuk menyesuaikan dengan surah al-Maidah ayat 55 tersebut, dengan menggambarkan bahwa Ali bebas melakukan sesuatu gerakan di luar gerakan shalat ketika shalat, sampai kepada memberikan cincin bertentangan dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ali adalah orang yang sangat khusyu dalam shalatnya.
2. Imamah
            Konsep keimamahan telah ada sejak kemunculan pertama para Nabi dan akan terus berlanjut pada             Nabi Ibrahim dengan keturunannya, yaitu nabi Muhammad dan pengganti-pengganti yang ditunjuknya.[xxi] Hal ini merupakan penafsiran mereka dari ayat al-Quran :
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku” Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim [xxii]

Mereka meyakini bahwa yang berhak memimpin umat Islam hanyalah imam yang sudah ditunjuk dan namanya mereka kenali. Para Imam terpilih ini menjalankan fungsi spiritual dan politik yang tinggi dan memiliki berkah yang khusus, kemampuan yang luar biasa (mu’jizat), dan pengetahuan rahasia yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Konsep-konsep tentang karakter keimamahan lebih detail diklasifikasikan oleh Hasan Tabattabai dalam tafsirnya:
-          Imam adalah maqam yang ditetapkan (dengan wahyu)
-          Imam harus ma’s}um dengan Is}mah Ilahi
-          Bumi tidak akan teratur tanpa seorang imam pembawa kebenaran selama manusia masih ada di bumi.
-          Imam bersandar pada pilihan Allah
-          Perbuatan manusia tidak terhijabi oleh ilmu imam
-          Imam harus mengetahui seluruh apa yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan spiritualnya.
-          Tak ada seorangpun yang menandingi keutamaan-keutamaan imam.[xxiii]
            Melihat konsep-konsep keimamahan di atas secara tekstual sangatlah berlebihan, walaupun secara kontekstual masih memungkinkan adanya penafsiran terhadap konsep-konsep tersebut yang dapat diterima secara aqli maupun naqli. Dalam fakta sejarah, konsep di atas, jika dianalisis menjadi terbantahkan, seperti konsep penetapan dan pemilihan imam oleh Allah, jika disandingkan dengan fakta sejarah keimamahan Musa al-Kaz}im yang sekilas hanyalah diangkat oleh para pengikutnya.
            Kas}if al-Git}a menulis bahwa Imamah (kepemimpinan) merupakan salah satu tonggak keimanan kaum S{i’ah. Sedangkan Sayyid Muzhaffar menyatakan bahwa Imam merupakan ulil amri yang diperintahkan oleh Allah untuk ditaati. Sebab, mereka adalah saksi bagi manusia, pintu-pintu Allah, dan jalan menuju-Nya. Mereka adalah petunjuk jalan, wadah ilmu Allah, penerjemah wahyu-Nya, tonggag-tonggak tauhid-Nya, lemari makrifat-Nya, karena itulah mereka menjadi pembawa keamanan di bumi seperti bintang membawa keamanan bagi ahli langit.[xxiv]
3. Ishmah
      Mereka mengatakan bahwa imam seperti halnya Nabi adalah ma’s}um. Semua imam yang dua belas ini suci dari kesalahan, kealfaan dan juga dari dosa besar dan dosa kecil.  Is}mah menurut istilah umum adalah kemampuan menjauhi maksiat, dengan seksama, bisa juga diartikan dengan terpelihara dari semua dosa. Sedangkan menurut ulama S{iah, ma’s}um ialah satu naluri yang menjegah seseorang membuat suatu kemaksiatan.[xxv]
            Kalau kita melihat redaksi di atas dan juga beberapa konsep keimamahan yang telah disebutkan sebelumnya, menjelaskan bahwa imam-imam mereka dianggap sebagai orang yang ma’s}um, berbeda dengan golongan Sunni yang menganggap bahwa hanya nabi Muhammad SAW. saja yang terpelihara dari segala kemaksiatan. Ini juga menjelaskan posisi kedudukan imam sama dengan posisi Nabi.
4. Raj’ah
      Mereka meyakini al-raj’ah, yaitu kembalinya imam ke tengah masyarakat setelah lewat masa gaib atau masa bersembunyi dari pandangan pengikutnya. Dalam keyakinan mereka, imam al-Hasan al Askari meninggalkan seorang putra yang berusia sekitar 4 atau 6 tahun, yang bergelar Imam Mahdi. Riwayat lain menyatakan bahwa al-mahdi telah lahir sebelum ayahnya wafat, dan dinobatkan oleh ayahnya sebagai imam ke-12, dan dalam usia yang sangat belia, ia lari dan bersembunyi dalam lubang (Sardab) di rumah ayahnya di Irak. Persembunyian (ghaib) ini menurut pengikutnya berlangsung selama 65 tahun. Dalam masa ini, seorang Syi’ah dapat berhubungan dengan imamnya melalui empat orang wakil khas, yang selama masa ini disebut dengan ghaib kecil (al-ghaibah al-shugra’)
      Setelah meninggalnya empat orang wakil ini, maka dimulailah gaib besar (al-ghaib al-kubra), karena hubungan dengan imam terputus sama sekali dan imam baru akan menampakkan diri lagi saat kiamat sudah semakin dekat. Pada masa ini kepemimpinan Syi’ah dipegang dan dikendalkan oleh wilayah al-Fakih, yaitu para ulama shalih yang dipercaya oleh masyarakat Syi’ah.

5. Taqiyah
      Taqiyah berasal dari kata waqa yang berarti melindungi, atau menjaga diri[xxvi] seakar kata dengan kata taqwa. Taqiyah berarti menyembunyikan identitas aqidah sebagai penjagaan diri dari musuh. Taqiyah ini menurut mereka merupakan salah satu prinsip utama agama yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan mereka memandang wajib melakukan taqiyah, karena seseorang yang tidak melakukan taqiyah jika meninggal, maka kematiannya tidak akan berfaidah.
Berikut ini beberapa bentuk taqiyah dalam pandangan mereka, yaitu :
-           Taqiyah Khawafiyah, yaitu taqiyah yang dilakukan karena adanya rasa takut atau khawatir terhadap sesuatu yang dapat mengancam akidah atau eksistensi mereka.
“ Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu)”. [xxvii]
-          Taqiyah Ikrahiyah, adalah bentuk penyembunyian keyakinan karena adanya paksaan.
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [xxviii]
-          Taqiyah Mudarati (simbiosis), yaitu bentuk penyembunyian keyakinan agar mampu berbaur dengan objek tertentu dengan tujuan untuk menyebarkan keyakinannya.
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara Pengikut-pengikut Fir'aun yang Menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena Dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah Padahal Dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. dan jika ia seorang pendusta Maka Dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta”. [xxix]
-          Taqiyah Kitmaniyah, yaitu bentuk taqiyah yang dilakukan dalam keadaan minoritas atau berada di bawah payung kekuasaan dengan konsep akidah yang berbeda. Taqiyah ini dilakukan dengan cara melakukan ritual-ritual orang lain yang pada prinsipnya berbeda dengan ritual mereka dengan tujuan menjaga hubungan ataupun persaudaraan mereka. Misalnya seorang S{i'ah yang tinggal di kawasan Sunni, mengikuti pola peribadatan kelompok Sunni yang berbeda dengan pola peribadatan mereka dengan tujuan menjaga hubungan antara sesama umat Islam.
            Dalam pendekatan sejarah, ajaran taqiyah mulai diajarkan oleh Imam Hasan al-Askari, Imam kesebelas dalam pandangan S{i'ah Ithna As}ariyah (Imam dua belas), ketika kelompok ini berada dalam tekanan penguasa Abbasiyah pada saat itu. Kelompok ini terintimidasi dalam keyakinan mereka, sehingga sang Imam mengajarkan konsep ini kepada para pengikutnya demi menjaga eksistensi mereka. Penerapan konsep keyakinan taqiyah ini juga dilandasi dengan dalil sejarah di masa Rasulullah dengan adanya peristiwa Amar bin Yasir, ketika umat Islam  masih dalam keadaan minoritas dan berada di bawah intimidasi penguasa-penguasa Qurais. Amar bin Yasir mengingkari keislamannya secara lisan demi untuk menyelamatkan nyawanya.
            Dengan landasan tersebut di atas, konsep pemahaman ini dapat dimaklumi. Akan tetapi, untuk saat sekarang, taqiyah dilakukan bukan lagi untuk penyelamatan akidah tetapi sampai kepada permasalahan sosial dan politik dengan tujuan dan intrik-intrik tertentu, dan ini perlu untuk didiskusikan ulang.
            Dalam pandangan penulis, konsep taqiyah dalam hal ini taqiyah ikrahiyah dan taqiyah khawafiyah dalam kondisi tertentu dapat diterima. Dengan dasar penyelamatan aqidah, walaupun dalam tinjauan lain, dimensi kebohongan sangat tidak disukai dalam Islam. Tetapi pada bentuk taqiyah yang selanjutnya, taqiyah kitmaniyah yang dilakukan dengan dasar menjaga persaudaraan misalnya, tidak dapat diterima. Sebab persaudaraan tidak boleh didasari dengan kebohongan tetapi pada dasar keterbukaan termasuk di dalamnya adalah menerima apa yang menjadi keyakinan dan pendapat orang lain. Begitupun dengan taqiyah mudarati (simbiosis), sebuah penyampaian faham keyakinan sejatinya harus disampaikan secara terang-terangan, apalagi untuk saat sekarang dengan sistem kebebasan ekspresi yang amat terbuka.
E. Penutup
Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapa di ambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Shi’ahIthna As}ariyah adalah kelompok atau madhab yang meyakini Ali dan sebelas keturunan sebagai pelanjut atau pewaris Rasulullah.
2.      Kepemimpinan Ali dan sebelas imam setelahnya adalah merupakan aus}ia (penerima wasiat) kepemimpinan dari Rasulullah dengan titah Ilahi.
3.      Kepemimpinan imam adalah kepemimpinan Allah atas manusia, dan para imam ini telah dipilih dengan kemampuan yang sama dengan Rasul.
4.      Imam memiliki karakter tertentu yang menjadi dasar pengangkatannya, seperti ma’sum, memiliki ilmu yang dalam dan luas, zuhud dan merdeka, memiliki keberanian serta akhlak yang mulia.
5.      Fase keimamahan dalam Shi’ahIthna As}ariyah terbagi dalam tiga tingkatan. Kepemimpinan langsung Imam dua belas, kepemimpinan wakil imam (niyabah al-khas}s}as}) dan kepemimpinan pelanjut (imam al-faqih).
6.      Shi’ahIthna As}ariyah memiliki beberapa faham dengan karakter tersendiri, seperti faham imamah dan wilayah, wisayah, raj’ah, ishmah, taqiyah dan lain-lain.
7.      Adanya perbedaan-perbedaan dalam Islam adalah hal yang biasa, dan karenanya haruslah dihadapi dengan bijaksana dan terbuka selama masih dalam hal kewajaran.








Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim
Abdurrahman, Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Amin, Ahmad. Fajr al-Isla>m . Kairo: Maktabah Nahd}ah al-Mis}riyah, 1975.
Al-Sam’any, Abu Sa’ad Abdu al-Kari>m. al-Milal wa al-Nih}al al-Warid}ah fii Kita>bi al-Ansa>b . Riyad} : Da>r al-Wat}an, 1996.
Al-S}ahrasta>ny , Muh}ammad bin ‘Abdu al-Kari>m.  al-Milal wa al-Nih}al . Beirut : Da>r al-Kita>b al-‘Alamiyah, 1992.
al-T{abatabai , Muhammad Husein. al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’an, Juz I . Iran : Al-Mat}ba’ah Isma’iliyani, 1973.
                                                       . al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’an, Juz VI . Iran : Al-Mat}ba’ah Isma’iliyani, 1973.
Corbin, Henry,  History of Islamic Philosophy. London and New York: Kegan Paul International, t,th.
Lapidus,Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Gufron A. Mas’adi. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia . Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Mut}aharri, Murtad}a. Imamah dan Khilafah. Jakarta : Firdaus, 1991.
Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Rakhmat, Jalaluddin.  Islam Alternatif . Bandung : Mizan, 1998.
Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985.
Website, Sejarah S{iah dan Imamah, berdasar sumber-sumber S{iah. (http://myQuran. com.net. org)



[i]W. Montgomery Watt,  Islamic Philosophy and Theology  (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985) 56
[ii]Muh}ammad bin ‘Abdu al-Kari>m al-S}ahrasta>ny , al-Milal wa al-Nih}al (Beirut : Da>r al-Kita>b al-‘Alamiyah, 1992),144.
[iii] Ahmad Amin, Fajr al-Isla>m (Kairo: Maktabah Nahd}ah al-Mis}riyah, 1975),  272.
[iv] Al-Quran, al-Maidah : 12.
[v] Ibid, al-A’raf : 160.
[vi] Ibid, al-Taubah : 36.
[vii] Abu Sa’ad Abdu al-Kari>m al-Sam’any, al-Milal wa al-Nih}al al-Warid}ah fii Kita>bi al-Ansa>b (Riyad} : Da>r al-Wat}an, 1996), 8-9.
[viii] W. M. Watt, Islamic.. 60.
[ix] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan ( Jakarta: UI Press, 1986), 6-7.
[x] Ibid. 8.
[xi] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Gufron A. Mas’adi (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), 177.
[xii] Ibid, 181.
[xiii] Asjmuni Abdurrhman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 258.
[xiv] Website, Sejarah S{iah dan Imamah, berdasar sumber-sumber  S{iah. (http://myQuran. com.net. org)
[xv] Asmuni, Manhaj….. 258.
[xvi] Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London and New York: Kegan Paul International, t,th.), 69-70.
[xvii] Ira, sejarah. 181.
[xviii] Al-Quran, al-Maidah : 55-56.
[xix] Muhammad Husein al-T{abatabai , al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’an, Juz VI (Iran : Al-Mat}ba’ah Isma’iliyani, 1973), 17.
[xx] Ibid. masih banyak lagi riwayat-riwayat yang semakna yang ditulis di halaman 16-25 dalam kitab ini.
[xxi] Murtad}a Mut}aharri, Imamah dan Khilafah (Jakarta : Firdaus, 1991), 135.
[xxii] Al-Quran , al-Baqarah : 124.
[xxiii]Muhammad Husein al-T{abatabai , al-Mi>zan fi> Tafsi>r al-Qur’an, Juz I (Iran : Al-Mat}ba’ah Isma’iliyani, 1973), 274-275.
[xxiv] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung : Mizan, 1998), 249.
[xxv] Asjmuni, Manhaj,. 269.
[xxvi] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989), 1577.
[xxvii] Al-Quran, Ali Imran : 28
[xxviii] Ibid, al-Nahl : 106.
[xxix] Ibid, al-Mu’min : 28.