Oleh : M. Daud
A. Pendahuluan
Islam dibangun di atas pondasi sistem yang kokoh. Kerangka-kerangka dasar sistem tersebut telah disusun dengan apik oleh sang pembawa risalah Islam, nabi Muhammad saw., dalam bingkai bimbingan wahyu Ilahi. Rangkaian sistem tersebut tertuang ke dalam dua wadah mulia, yakni al-Quran dan hadith (selanjutnya disebut hadis) atau sunnah.
Al-Quran dan hadis memiliki keterkaitan kuat dalam proses membimbing umat Islam, meskipun keduanya memiliki derajat yang berbeda dalam beberapa aspek, baik dalam proses periwayatan, pengamalan ataupun posisinya sebagai sumber hukum, di mana al-Quran diposisikan lebih awal dan hadis pada posisi selanjutnya. Al-Quran sebagai sumber utama dan hadis sebagai penafsir al-Quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.
Al-Quran dan hadis telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam sebagai dua sumber hukum pokok, sedang sebagian kecil lain hanya menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan di sisi lain menolak hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, yang kemudian lazim dikenal dengan ingkar sunnah (Inkar al-Sunnah).
Berpegang pada sistem al-Quran dan hadis nabi adalah sebuah keharusan yang diwariskan kepada umat Islam :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ماتمسّكتم بهماكتاب اللّه وسنّة نبيّه
“Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)
Dalam proses pengamalan al-Quran dan hadis, ditemukan banyak masaalah, terlebih pada kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam. Masalah yang menjadi polemik pada hadis adalah periwayatannya. Hal ini dapat dipahami, karena hadis memiliki kualitas periwayatan yang tidak sepenuhnya sama dengan al-Quran. Selain itu masih banyak lagi hal-hal yang dipermasalahkan dalam hadis yang berpengaruh pada kedudukannya sebagai sumber hukum.
Dalam proses mendalami hadis seringkali sering ditemukan teks-teks hadis yang memiliki lafal-lafal yang sama dan kadang berbeda tapi memiliki makna yang sama. Oleh karena itu, hal yang akan diketengahkan dalam makalah ini adalah bagaimana periwayatan hadis dengan lafal dan makna itu bisa terjadi serta masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem periwayatan tersebut juga bagaimana contoh-contoh hadis yang diriwayatkan dengan lafal dan hadis yang diriwayatkan dengan makna.
B. Pengertian
Memahami kalimat “Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna”, paling tidak ada empat kata yang harus didefenisikan terlebih dahulu, yaitu: periwayatan, hadis, lafal dan makna. Selain itu, kalimat tersebut juga selanjutnya didefenisikan ke dalam dua variabel untuk sampai pada sebuah pengertian yang utuh, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna.
Pertama. Kata periwayatan dikenal dalam bahasa Arab adalah al riwa>yat bentuk mas}dar dari kata rawa, secara bahasa berarti al-naql (penulisan), al-dhikr (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al-istiq’ (pemberian minum), kata ini juga diartikan dengan kata h}amala dan qas}s}a. Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata riwayat diartikan dengan cerita turun temurun, sejarah, dan tambo, sedangkan untuk kata kerjanya adalah meriwayatkan diartikan dengan menceritakan Dari beberapa defenisi perkata tersebut, dapat diambil beberapa kata yang dapat mewakili defenisi kata periwayatan yakni, penyebutan, penerimaan dan kisah atau cerita. Dalam artian bahwa kata periwayatan dapat didefenisikan sebagai sebuah proses menyebutkan, mengisahkan, menceritakan atau menerima sebuah informasi tentang suatu objek.
Kedua: Hadis. Kata ini didefenisikan oleh para ulama secara beragam dengan subjektifitas masing-masing. Selain itu, hadis juga sering disinonimkan dengan beberapa istilah seperti khabar, athar, ataupun sunnah. Terlepas dari keragaman perbedaan tersebut, yang diketengahkan hanya defenisi secara umum yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik perkataan, perbuatan, takrir atau sifat-sifatnya baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi nabi. Untuk memfokuskan pembahasan, penulis mendefinisikan hadis khusus pada pembahasan ini, sebagai informasi tentang perkataan perbuatan, takrir, ataupun hal ihwal nabi secara tekstual yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang sampai pada kita saat sekarang ini.
Ketiga : Lafal. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini didefenisikan sebagai cara seseorang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat mengucapkan bunyi bahasa. Kata ini, dalam bahasa Arab sama dengan lafaz}a yang bermakna nat}aqa bihi (mengucapkan atau melafalkan). Sedangkan secara nomina berarti ucapan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah apa yang menjadi ucapan Nabi secara harfiah.
Keempat: Makna. Kata makna memiliki dua arti, arti dan maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan pada sebuah bentuk kebahasaan. Dalam artian bahwa kalimat yang dimaksud hanya memiliki arti dan maksud yang sama tetapi berbeda secara lafal.
Pada pendefinisan selanjutnya dikerucutkan pada bentuk kalimat proses periwayatan jika dihubungkan dengan objek, dalam hal ini adalah hadis, dapat didefenisikan sebagai proses menceritakan atau menyampaikan hadis. Dalam tinjauan istilah ilmu hadis, periwayatan didefenisikan sebagai kegiatan menerima hadis, menukilkan serta menyandarkan hadis itu kepada rangkaian para pembawanya. Dari defenisi-defenisi di atas dapat dipahami bahwa periwayatan hadis paling tidak memiliki tiga unsur yang saling terkait yaitu orang yang menyampaikan atau menceritakan hadis (periwayat), hadis sebagai materi cerita dan orang yang mendengar atau menerima hadis.
Dari defenisi empat kata di atas, disimpulkan kedalam dua bentuk yang lebih terfokus, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna. Bentuk pertama diartikan sebagai proses penyampaian informasi yang berasal dari Rasulullah (hadis) sesuai dengan apa yang disampaikan tanpa merubah lafal. Sedangkan bentuk kedua adalah proses penyampaian informasi yang berkaitan dengan Rasulullah dengan lafal masing-masing penyampai informasi dengan tidak meninggalkan esensi makna informasi tersebut.
C. Pro-kontra Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna
Pada awal Islam sampai pada awal abad kedua hijriyah, hadis tidak ditulis dalam buku-buku yang berjilid. Ketika itu hadis masih merupakan tulisan-tulisan yang terserak pada lembaran-lembaran terpisah (s}ahifah) pada orang-orang tertentu sedang sebagian besar meletakkannya pada lembaran-lembaran hati (hafalan) terutama pada masa sahabat. Oleh sebab itu, proses transformasi hadis kemudian mengalami keragaman metode, baik secara lafal maupun makna.
Kedua metode ini telah diberlakukan oleh para sahabat dan generasi-generasi setelahnya. Pada proses pelaksanaannya menuai masalah, terkhusus pada metode periwayatan dengan makna.
Proses periwayatan hadis dengan metode lafal tidaklah menuai masalah yang serius dikarenakan penggunaanya disepakati oleh para sahabat ataupun generasi setelahnya. Di sisi lain, periwayatan dengan makna yang menuai masalah yang serius, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal oleh sahabat hanyalah hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah), walaupun hal tersebut tidaklah mudah terkecuali pada sabda-sabda tertentu. Hal tersebut disebabkan tidak mungkin seluruh qaul itu dapat dihafal secara harfiah secara keseluruhannya, selain juga bahwa kemampuan hafalan dan tingkat kecerdasan sahabat berbeda.
Sedangkan hadis dengan bentuk yang lain dimungkinkan akan diriwayatkan dengan cara makna oleh para sahabat sebagai saksi mata. Hal demikian dapat difahami karena sesuatu yang disaksikan oleh para sahabat tentu akan diriwayatkan atau disampaikan dengan rumusan kalimat dari sahabat tersebut.
Jalaluddin Rahmat mensinyalir sebab terjadinya periwayatan dengan makna adalah adanya keengganan menulis hadis pada era sahabat tersebut. Lebih jauh dia menulis, karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksi hadispun dapat berubah-ubah. Makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, para sahabat menyebarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diketahuinya kepada orang lain baik dengan lapal sebagaimana ia mendengar/menerima hadis tersebut dari Nabi SAW apabila hadis itu masih melekat pada telinga mereka. Atau mereka menyampaikannya berdasarkan makna yang dikandung hadis tersebut apabila mereka tidak hafal lagi dengan lafalnya.
Keabsahan periwayatan hadis dengan makna memunculkan kontroversi mulai pada masa sahabat sampai pada generasi selanjutnya. Para sahabat nabi pada umumnya membolehkan periwayatan hadis dengan makna. Di antara mereka adalah ‘Aly bin Abiy T{alib, ‘Abdullah ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda dan ‘Aisyah. Adapun yang cukup ketat di antaranya adalah Umar bin khattab, Abdullah bin Umar dan zayd bin Arqam. Pada masa selanjutnya, para ulama pun demikian. Abu Bakar ibn al-Arabi (w. 573 H/1148) misalnya, berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.
Ulama yang lain yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan secara lafal adalah Muh}ammad ibn Sirin (dari kalangan tabi’in), Ali ibn al-Madiny, al-Qasim ibn Muh}ammad, Imam Malik, Raja’ ibn Haiwah dan al-Qadhi ‘Iyadh. Sedangkan ulama yang memperbolehkan periwayatan hadis secara lafal dengan mengajukan syarat mengetahui bahasa Arab dengan baik, dan sebagai indikasinya adalah mampu mengetahui adanya penyimpangan bahasa secara maknawi, di antaranya yaitu Wathilah ibn al-Asqa’, Hudzaifah,al-Hasan al-Bashry, al-Nakha’i, al-S{a‘by, dan lain-lain.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafal atau harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.
4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata قال أوكما atau اونحوهذا atau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.
Dari penjelasan-penjelasan di atas tentang ketentuan kebolehan meriwayatkan hadis dengan makna, mengindikasikan betapa tidak “longgar”nya syarat untuk melakukannya. Meskipun demikian, kebolehan bersyarat tersebut menunjukkan adanya matn hadis yang telah diriwayatkan secara makna bahkan banyak.
D. Contoh Hadis yang Diriwayatkan Dengan Lafal dan Makna
Untuk sampai pada pemahaman yang lebih dalam, perlu diketengahkan beberapa contoh bentuk hadis yang riwayatkan secara lafal ataupun secara makna.
1. Contoh Periwayatan Hadis Dengan Lafal
- Riwayat Abu Daud
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu S{aibah, menceritakan kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ish}aq dari al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud)
- Riwayat Ahmad
حدثنا أبن نمير حدثنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (t}abaqat) pertama sampai dengan ketiga, yaitu :
1. Al-Barra bin ‘Azib
2. Abu Ish}aq
3. ‘Ajlah bin ‘Abdullah
Akan tetapi terdapat perbedaan perawi pada tingkatan keempat , yaitu:
1. Ibnu Numair
2. Abu Khalid
Pada tingkatan selanjutnya juga terjadi perbedaan. Imam Ahmad langsung sebagai mukharrij, sedangkan imam Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Timidhi masih memiliki rangkaian rawi, yaitu :
1. Sufyan bin Waqi’
2. Ish}aq bin Mansur
3. Abu Bakar
Kelima hadis di atas dapat dikategorikan ke dalam hadis-hadis yang diriwayatkan secara lafal, karena kelimanya tidak memiliki perbedaan secara harfiyah.
2. Contoh Periwayatan Hadis dengan Makna
- Riwayat Imam Muslim
حدثني أبو غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو عامر يعني الخزّاز عن أبي عمران عن عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال لي النبي صلى الله عليه وسلّم لا تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق
“ Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i, telah menceritakan kepada kami Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu ‘Amit
3. Abu ‘Imra>n
4. Abu ‘A>mir al-Khazzaz
Pada tingkatan selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang langsung kepada Imam Ahmad dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam Muslim.
Selain kedua hadis di atas ada juga beberapa hadis yang memiliki kemiripan makna, yaitu:
- Jalur riwayat Imam Ahmad
حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
- Jalur Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح
E. Penutup
Tulisan ini menawarkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Periwayatan hadis ialah proses penyampaian informasi yang berkaitan tentang Rasulullah.
2. Proses periwayatan hadis terbagi dua, yaitu lafal dan makna.
3. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
4. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna, namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafal lebih diprioritaskan.
Daftar Pustaka
‘Abu Zahwi, Muh}ammad Muh}ammad. al-H{adith wa al-Muh}addithu>n .t.t.: t.tp., 1984.
Ah}mad bin Muh}ammad bin Hambal, Musnad Imam Ah}mad bin Hambal, Juz IV. Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
, Musnad Imam Ah}mad bin Hambal, Juz V. Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
al-Ad}a>by, S{alah}uddin ibn Ah}mad. Metodologi Kritik Matan Hadis . Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
al-‘Arabiyah, Mujamma’ al-Lugat. Mu’jam al-Was}i>t}, . t.tp: al-Maktabat al-S}uruk al-Dauliyat, 2004.
al-Mans}awi>, Muh}ammad S{addi>q, Qamu>s} Mus}t}alah}a>tu al-H{adi>su a-Nabawiy . Mesir: Da>r al-Fad}i>lah, t.th.
al-Qat}t}a>n Manna, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-H}adi>th. t.t.: Maktabat wahbat, 1992.
al-Qus}airy, Muslim bin Hajja>j. S{ah}i>h} Muslim . Beirut: Da>r al-Fikr, 1993.
al-Siba’i, Mustafa. al-Sunnah wa Maka>natuha fi> Tas}ri’i al-Isla>m. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978.
al-Tirmidhi, Muh}ammad bin Isa. Sunan al-Tirmidhi, Juz V . Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga . Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi . Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 23.
Ma>lik bin Anas bin Ma>lik, al-Muwat}t}a . Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
Muh}ammad bin Ya>zid bin Ma>jah, Sunan Ibnu Ma>jah, Juz II. Semarang : Maktabah wa Mat}ba’ah T{aha Putra, t.th.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia . Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Rahmat, Jalaluddin. Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya, dalam Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhy Munawar Rachman . Jakarta: Paramadina, 1995.
Sulaiman bin As}’ath, Sunan Abu Dawud, Juz II . Beirut : Da>r al-Fikr, 1993.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis . Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
A. Pendahuluan
Islam dibangun di atas pondasi sistem yang kokoh. Kerangka-kerangka dasar sistem tersebut telah disusun dengan apik oleh sang pembawa risalah Islam, nabi Muhammad saw., dalam bingkai bimbingan wahyu Ilahi. Rangkaian sistem tersebut tertuang ke dalam dua wadah mulia, yakni al-Quran dan hadith (selanjutnya disebut hadis) atau sunnah.
Al-Quran dan hadis memiliki keterkaitan kuat dalam proses membimbing umat Islam, meskipun keduanya memiliki derajat yang berbeda dalam beberapa aspek, baik dalam proses periwayatan, pengamalan ataupun posisinya sebagai sumber hukum, di mana al-Quran diposisikan lebih awal dan hadis pada posisi selanjutnya. Al-Quran sebagai sumber utama dan hadis sebagai penafsir al-Quran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.
Al-Quran dan hadis telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam sebagai dua sumber hukum pokok, sedang sebagian kecil lain hanya menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan di sisi lain menolak hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, yang kemudian lazim dikenal dengan ingkar sunnah (Inkar al-Sunnah).
Berpegang pada sistem al-Quran dan hadis nabi adalah sebuah keharusan yang diwariskan kepada umat Islam :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ماتمسّكتم بهماكتاب اللّه وسنّة نبيّه
“Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)
Dalam proses pengamalan al-Quran dan hadis, ditemukan banyak masaalah, terlebih pada kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam. Masalah yang menjadi polemik pada hadis adalah periwayatannya. Hal ini dapat dipahami, karena hadis memiliki kualitas periwayatan yang tidak sepenuhnya sama dengan al-Quran. Selain itu masih banyak lagi hal-hal yang dipermasalahkan dalam hadis yang berpengaruh pada kedudukannya sebagai sumber hukum.
Dalam proses mendalami hadis seringkali sering ditemukan teks-teks hadis yang memiliki lafal-lafal yang sama dan kadang berbeda tapi memiliki makna yang sama. Oleh karena itu, hal yang akan diketengahkan dalam makalah ini adalah bagaimana periwayatan hadis dengan lafal dan makna itu bisa terjadi serta masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem periwayatan tersebut juga bagaimana contoh-contoh hadis yang diriwayatkan dengan lafal dan hadis yang diriwayatkan dengan makna.
B. Pengertian
Memahami kalimat “Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna”, paling tidak ada empat kata yang harus didefenisikan terlebih dahulu, yaitu: periwayatan, hadis, lafal dan makna. Selain itu, kalimat tersebut juga selanjutnya didefenisikan ke dalam dua variabel untuk sampai pada sebuah pengertian yang utuh, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna.
Pertama. Kata periwayatan dikenal dalam bahasa Arab adalah al riwa>yat bentuk mas}dar dari kata rawa, secara bahasa berarti al-naql (penulisan), al-dhikr (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al-istiq’ (pemberian minum), kata ini juga diartikan dengan kata h}amala dan qas}s}a. Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata riwayat diartikan dengan cerita turun temurun, sejarah, dan tambo, sedangkan untuk kata kerjanya adalah meriwayatkan diartikan dengan menceritakan Dari beberapa defenisi perkata tersebut, dapat diambil beberapa kata yang dapat mewakili defenisi kata periwayatan yakni, penyebutan, penerimaan dan kisah atau cerita. Dalam artian bahwa kata periwayatan dapat didefenisikan sebagai sebuah proses menyebutkan, mengisahkan, menceritakan atau menerima sebuah informasi tentang suatu objek.
Kedua: Hadis. Kata ini didefenisikan oleh para ulama secara beragam dengan subjektifitas masing-masing. Selain itu, hadis juga sering disinonimkan dengan beberapa istilah seperti khabar, athar, ataupun sunnah. Terlepas dari keragaman perbedaan tersebut, yang diketengahkan hanya defenisi secara umum yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik perkataan, perbuatan, takrir atau sifat-sifatnya baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi nabi. Untuk memfokuskan pembahasan, penulis mendefinisikan hadis khusus pada pembahasan ini, sebagai informasi tentang perkataan perbuatan, takrir, ataupun hal ihwal nabi secara tekstual yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang sampai pada kita saat sekarang ini.
Ketiga : Lafal. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini didefenisikan sebagai cara seseorang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat mengucapkan bunyi bahasa. Kata ini, dalam bahasa Arab sama dengan lafaz}a yang bermakna nat}aqa bihi (mengucapkan atau melafalkan). Sedangkan secara nomina berarti ucapan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah apa yang menjadi ucapan Nabi secara harfiah.
Keempat: Makna. Kata makna memiliki dua arti, arti dan maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan pada sebuah bentuk kebahasaan. Dalam artian bahwa kalimat yang dimaksud hanya memiliki arti dan maksud yang sama tetapi berbeda secara lafal.
Pada pendefinisan selanjutnya dikerucutkan pada bentuk kalimat proses periwayatan jika dihubungkan dengan objek, dalam hal ini adalah hadis, dapat didefenisikan sebagai proses menceritakan atau menyampaikan hadis. Dalam tinjauan istilah ilmu hadis, periwayatan didefenisikan sebagai kegiatan menerima hadis, menukilkan serta menyandarkan hadis itu kepada rangkaian para pembawanya. Dari defenisi-defenisi di atas dapat dipahami bahwa periwayatan hadis paling tidak memiliki tiga unsur yang saling terkait yaitu orang yang menyampaikan atau menceritakan hadis (periwayat), hadis sebagai materi cerita dan orang yang mendengar atau menerima hadis.
Dari defenisi empat kata di atas, disimpulkan kedalam dua bentuk yang lebih terfokus, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna. Bentuk pertama diartikan sebagai proses penyampaian informasi yang berasal dari Rasulullah (hadis) sesuai dengan apa yang disampaikan tanpa merubah lafal. Sedangkan bentuk kedua adalah proses penyampaian informasi yang berkaitan dengan Rasulullah dengan lafal masing-masing penyampai informasi dengan tidak meninggalkan esensi makna informasi tersebut.
C. Pro-kontra Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna
Pada awal Islam sampai pada awal abad kedua hijriyah, hadis tidak ditulis dalam buku-buku yang berjilid. Ketika itu hadis masih merupakan tulisan-tulisan yang terserak pada lembaran-lembaran terpisah (s}ahifah) pada orang-orang tertentu sedang sebagian besar meletakkannya pada lembaran-lembaran hati (hafalan) terutama pada masa sahabat. Oleh sebab itu, proses transformasi hadis kemudian mengalami keragaman metode, baik secara lafal maupun makna.
Kedua metode ini telah diberlakukan oleh para sahabat dan generasi-generasi setelahnya. Pada proses pelaksanaannya menuai masalah, terkhusus pada metode periwayatan dengan makna.
Proses periwayatan hadis dengan metode lafal tidaklah menuai masalah yang serius dikarenakan penggunaanya disepakati oleh para sahabat ataupun generasi setelahnya. Di sisi lain, periwayatan dengan makna yang menuai masalah yang serius, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal oleh sahabat hanyalah hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah), walaupun hal tersebut tidaklah mudah terkecuali pada sabda-sabda tertentu. Hal tersebut disebabkan tidak mungkin seluruh qaul itu dapat dihafal secara harfiah secara keseluruhannya, selain juga bahwa kemampuan hafalan dan tingkat kecerdasan sahabat berbeda.
Sedangkan hadis dengan bentuk yang lain dimungkinkan akan diriwayatkan dengan cara makna oleh para sahabat sebagai saksi mata. Hal demikian dapat difahami karena sesuatu yang disaksikan oleh para sahabat tentu akan diriwayatkan atau disampaikan dengan rumusan kalimat dari sahabat tersebut.
Jalaluddin Rahmat mensinyalir sebab terjadinya periwayatan dengan makna adalah adanya keengganan menulis hadis pada era sahabat tersebut. Lebih jauh dia menulis, karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksi hadispun dapat berubah-ubah. Makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, para sahabat menyebarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diketahuinya kepada orang lain baik dengan lapal sebagaimana ia mendengar/menerima hadis tersebut dari Nabi SAW apabila hadis itu masih melekat pada telinga mereka. Atau mereka menyampaikannya berdasarkan makna yang dikandung hadis tersebut apabila mereka tidak hafal lagi dengan lafalnya.
Keabsahan periwayatan hadis dengan makna memunculkan kontroversi mulai pada masa sahabat sampai pada generasi selanjutnya. Para sahabat nabi pada umumnya membolehkan periwayatan hadis dengan makna. Di antara mereka adalah ‘Aly bin Abiy T{alib, ‘Abdullah ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda dan ‘Aisyah. Adapun yang cukup ketat di antaranya adalah Umar bin khattab, Abdullah bin Umar dan zayd bin Arqam. Pada masa selanjutnya, para ulama pun demikian. Abu Bakar ibn al-Arabi (w. 573 H/1148) misalnya, berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.
Ulama yang lain yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada periwayatan secara lafal adalah Muh}ammad ibn Sirin (dari kalangan tabi’in), Ali ibn al-Madiny, al-Qasim ibn Muh}ammad, Imam Malik, Raja’ ibn Haiwah dan al-Qadhi ‘Iyadh. Sedangkan ulama yang memperbolehkan periwayatan hadis secara lafal dengan mengajukan syarat mengetahui bahasa Arab dengan baik, dan sebagai indikasinya adalah mampu mengetahui adanya penyimpangan bahasa secara maknawi, di antaranya yaitu Wathilah ibn al-Asqa’, Hudzaifah,al-Hasan al-Bashry, al-Nakha’i, al-S{a‘by, dan lain-lain.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafal atau harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.
4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata قال أوكما atau اونحوهذا atau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.
Dari penjelasan-penjelasan di atas tentang ketentuan kebolehan meriwayatkan hadis dengan makna, mengindikasikan betapa tidak “longgar”nya syarat untuk melakukannya. Meskipun demikian, kebolehan bersyarat tersebut menunjukkan adanya matn hadis yang telah diriwayatkan secara makna bahkan banyak.
D. Contoh Hadis yang Diriwayatkan Dengan Lafal dan Makna
Untuk sampai pada pemahaman yang lebih dalam, perlu diketengahkan beberapa contoh bentuk hadis yang riwayatkan secara lafal ataupun secara makna.
1. Contoh Periwayatan Hadis Dengan Lafal
- Riwayat Abu Daud
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu S{aibah, menceritakan kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ish}aq dari al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud)
- Riwayat Ahmad
حدثنا أبن نمير حدثنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (t}abaqat) pertama sampai dengan ketiga, yaitu :
1. Al-Barra bin ‘Azib
2. Abu Ish}aq
3. ‘Ajlah bin ‘Abdullah
Akan tetapi terdapat perbedaan perawi pada tingkatan keempat , yaitu:
1. Ibnu Numair
2. Abu Khalid
Pada tingkatan selanjutnya juga terjadi perbedaan. Imam Ahmad langsung sebagai mukharrij, sedangkan imam Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Timidhi masih memiliki rangkaian rawi, yaitu :
1. Sufyan bin Waqi’
2. Ish}aq bin Mansur
3. Abu Bakar
Kelima hadis di atas dapat dikategorikan ke dalam hadis-hadis yang diriwayatkan secara lafal, karena kelimanya tidak memiliki perbedaan secara harfiyah.
2. Contoh Periwayatan Hadis dengan Makna
- Riwayat Imam Muslim
حدثني أبو غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو عامر يعني الخزّاز عن أبي عمران عن عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال لي النبي صلى الله عليه وسلّم لا تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق
“ Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i, telah menceritakan kepada kami Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu ‘A
3. Abu ‘Imra>n
4. Abu ‘A>mir al-Khazzaz
Pada tingkatan selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang langsung kepada Imam Ahmad dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam Muslim.
Selain kedua hadis di atas ada juga beberapa hadis yang memiliki kemiripan makna, yaitu:
- Jalur riwayat Imam Ahmad
حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
- Jalur Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح
E. Penutup
Tulisan ini menawarkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Periwayatan hadis ialah proses penyampaian informasi yang berkaitan tentang Rasulullah.
2. Proses periwayatan hadis terbagi dua, yaitu lafal dan makna.
3. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
4. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna, namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis dengan lafal lebih diprioritaskan.
Daftar Pustaka
‘Abu Zahwi, Muh}ammad Muh}ammad. al-H{adith wa al-Muh}addithu>n .t.t.: t.tp., 1984.
Ah}mad bin Muh}ammad bin Hambal, Musnad Imam Ah}mad bin Hambal, Juz IV. Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
, Musnad Imam Ah}mad bin Hambal, Juz V. Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
al-Ad}a>by, S{alah}uddin ibn Ah}mad. Metodologi Kritik Matan Hadis . Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
al-‘Arabiyah, Mujamma’ al-Lugat. Mu’jam al-Was}i>t}, . t.tp: al-Maktabat al-S}uruk al-Dauliyat, 2004.
al-Mans}awi>, Muh}ammad S{addi>q, Qamu>s} Mus}t}alah}a>tu al-H{adi>su a-Nabawiy . Mesir: Da>r al-Fad}i>lah, t.th.
al-Qat}t}a>n Manna, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-H}adi>th. t.t.: Maktabat wahbat, 1992.
al-Qus}airy, Muslim bin Hajja>j. S{ah}i>h} Muslim . Beirut: Da>r al-Fikr, 1993.
al-Siba’i, Mustafa. al-Sunnah wa Maka>natuha fi> Tas}ri’i al-Isla>m. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978.
al-Tirmidhi, Muh}ammad bin Isa. Sunan al-Tirmidhi, Juz V . Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga . Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi . Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 23.
Ma>lik bin Anas bin Ma>lik, al-Muwat}t}a . Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
Muh}ammad bin Ya>zid bin Ma>jah, Sunan Ibnu Ma>jah, Juz II. Semarang : Maktabah wa Mat}ba’ah T{aha Putra, t.th.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia . Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Rahmat, Jalaluddin. Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya, dalam Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhy Munawar Rachman . Jakarta: Paramadina, 1995.
Sulaiman bin As}’ath, Sunan Abu Dawud, Juz II . Beirut : Da>r al-Fikr, 1993.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis . Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.